Minggu, Mei 30, 2010

Premium Dilarang Masuk Jakarta (bagian 3)

Pada bagian kedua dibahas mengenai persiapan penghentian suplai premium ke kota Jakarta. Dan persiapan ini membutuhkan biaya yang cukup besar, sesuai dengan biaya penghematan yang akan dihasilkan.

Pada bagian ketiga ini akan dibahas mengenai reaksi dan dampak dari penghentian suplai premium ke Jakarta. Reaksi ini kemungkinan negatif atau memanfaatkan celah dan bagaimana cara menanggulanginya.

Reaksi pertama dari pengguna kendaraan pribadi baik mobil ataupun motor. Reaksi dari kelompok ini tentunya paling bisa diprediksi. Dampak dari dihentikannya suplai premium ke Jakarta akan meningkatkan pemakaian premium di kota penyangga. Hal ini akan menyebabkan suplai premium ke beberapa kota penyangga harus ditambah paling tidak dalam bulan pertama setelah aturan diberlakukan. Lalu sedikit demi sedikit suplai dikurangi, hingga mencapai suplai seperti sebelum pemberlakuan aturan ini. Hal ini adalah hal yang lumrah, bahkan di perbatasan Singapura dan Malaysia pun banyak yang melakukan hal serupa. Namun mereka direpotkan oleh imigrasi antar negara, sehingga tidak ekonomis jika harus bolak-balik demi memperoleh BBM.

Hal yang sama juga akan berlaku disini. Jarak kota penyangga ke pusat bisnis Jakarta cukup jauh, dan yang paling terpenting adalah macet. Sehingga orang akan merasa kerepotan jika harus bolak-balik, bahkan jika mereka memiliki supir untuk melakukan hal tersebut. Sehingga untuk pengguna kendaraan pribadi tidak diperlukan pengawasan sama sekali karena memang dengan pelarangan suplai cukup membuat mereka kerepotan untuk menyiasatinya.

Kelompok kedua yang akan bereaksi adalah angkutan umum yang menggunakan premium yaitu angkutan kota yang berupa mobil minivan. Kelompok ini yang akan protes akan kebijakan tersebut. Namun saya rasa hanya sebagian yang benar-benar protes. Ini dikarenakan mobil angkutan umum yang berupa minivan biasanya lintas kota. Ada yang dari Tangerang ke Jakarta lewat Kali Deres, ada yang dari Depok ke Jakarta lewat Kampung Rambutan, ada yang dari Bekasi ke Jakarta lewat Pulo Gadung. Dan keseluruhan angkutan tersebut melewati daerah penyangga Jakarta. Sehingga bila mereka protes, maka tidak ada dasar sama sekali akan protesnya tersebut.

Yang menjadi masalah hanyalah angkutan mikrolet yang tidak melewati kota penyangga. Dan ini yang terkena dampak paling besar. Terus terang saya belum memiliki solusi untuk mikrolet yang tidak melewati kota penyangga tersebut. Tapi jika ditotal, maka jumlah mikrolet tersebut sedikit sekali dibandingkan total angkutan umum di Jakarta.

Kelompok berikutnya adalah armada taksi atau travel atau instansi pemerintah yang menggunakan premium. Seperti yang telah dibahas di bagian 2, maka taksi atau travel ini mempunyai hak untuk memiliki Stasiun Pengisian sendiri. Penyimpangan yang mungkin terjadi adalah beberapa taksi atau travel menjual premiumnya kepada umum dengan harga yang dimahalkan tapi tentunya lebih murah daripada BBM non subsidi. Iya hal ini bisa dilakukan, tapi dengan sistem tertutup tentunya hal itu akan sulit dilakukan terus menerus. Contohnya, rata-rata jarak tempuh taksi per hari di Jakarta adalah 400 km. Dengan rata-rata taksi menggunakan mobil yang penggunaan BBM-nya 1 : 10, maka rata-rata terpakai 40 liter BBM. Jika jumlah armada di pool taksi ada 100 unit, maka suplai BBM ke pool tersebut dibatasi hanya 4000 liter per hari. Sehingga jika memang ada oknum yang 'bandel', maka kebandelannya tidak akan berlangsung lama karena keuntungannya tidak seberapa, dan jika tertangkap tangan harus dikenakan hukuman yang berat, bagi oknum maupun instansinya.

Kelompok berikutnya adalah masyarakat umum. Penghentian premium di Jakarta akan disikapi dengan kenaikan barang kebutuhan. Mereka akan mengira bahwa karena BBM-nya non subsidi, maka angkutan barang menjadi lebih mahal. Namun itu adalah perkiraan yang salah. Angkutan kebutuhan pokok biasanya adalah angkutan antar kota, sehingga penghentian premium di kota Jakarta tidak mempengaruhi biaya angkutan sama sekali. Memang pasti ada kenaikan harga di beberapa bidang, tapi tentunya kenaikan itu adalah wajar karena masih harus membiasakan. Kenaikan yang paling mungkin adalah angkutan umum Mikrolet yang tidak memiliki jalur ke kota penyangga. Namun kenaikan itu juga tidak terlalu besar, apalagi jika busway sudah beroperasi secara ideal.

Mudah-mudahan dengan penghentian suplai premium ke Jakarta akan mengurangi kemacetan di Ibukota dan membuat perjalanan keliling Jakarta di hari kerja menjadi lebih nyaman, aman dan manusiawi.

Amin.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar