Perubahan adalah salah satu hal yang pasti di dunia ini. Perubahan dapat terjadi mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks dan melibatkan hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini saya akan membahas perubahan pola pikir dan perilaku saya dalam bertransportasi.
Waktu saya masih kecil dan bersekolah di Taman Kanak-kanak, saya lebih banyak menggunakan becak sebagai alat transportasi saya ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah saya adalah sekitar 10-15 menit menggunakan becak. Saat itu becak lebih mudah didapat dan memungkinkan untuk ditumpangi lebih dari satu orang. Saya masih diantar oleh pengasuh saya yang saya panggil Emak walaupun kadang-kadang orang tua yang menemani ke sekolah.
Saat itu saya betul-betul belum tahu moda transportasi apa yang saya bisa pilih dan belum tahu kenapa memilih moda transportasi tersebut. Saya hanya mengikuti apa yang dipilih oleh orang yang mengantar saya sekolah dan kebanyakan si Emak memilih menggunakan becak.
Beranjak ke Sekolah Dasar saya masih belum memiliki pilihan moda transportasi. Saat itu yang dipilihkan orang tua ke saya adalah naik jemputan. Jemputan ini berupa mobil Mitsubishi L300 yang menurut saya sangat besar saat itu. Setiap pagi mobil ini menjemput saya dari rumah dan ketika jam sekolah usai mobil ini sudah menunggu di parkiran dekat sekolah. Saya menggunakan moda transportasi ini secara penuh hingga kelas 5 SD. Setelah itu saya mulai menentukan pilihan yaitu naik angkutan umum. Namun saya hanya naik angkot jika pulangnya. Paginya tetap dijemput oleh Pak Supir yang bernama Om An.
Saya memilih pulang naik angkutan umum saat itu karena terpengaruh ajakan teman. Rasanya kurang keren saat itu kalau naik jemputan, apalagi sudah kelas 6 SD. Jadilah tetap berlangganan jemputan, namun sering juga pulang sendiri dengan angkutan. Pikiran saya saat itu, saya sudah gede, jadi harus bisa mandiri. Dan untuk transportasi mandiri artinya bisa pulang sendiri. Mulai dari sinilah saya memiliki pilihan untuk transportasi yang saya gunakan, walaupun secara keseluruhan masih ditentukan oleh orang tua.
Saya ingat waktu itu pernah sekali pulang bareng teman. Uangnya hanya cukup untuk naik angkutan umum satu kali. Padahal untuk sampe ke rumah minimal kami harus naik angkutan umum dua kali. Dia bilang ke saya bahwa dia tak punya uang. Sedangkan saya punya uang yang cukup bahkan untuk membayari dia naik angkutan. Karena dia ngajak jalan ke rumah, akhirnya saya temani dia jalan kaki sampai ke rumah. Untuk diketahui, jarak jalan kaki kita saat itu adalah 2,5 km. Entah itu orang tau apa gak saat ini. Nama orang tersebut adalah Rully Septianto.
Masuk SMP saya masih didaftarkan ikut jemputan oleh orang tua. Kebetulan tahun pertama masuk siang. Kalau berangkat dari rumah siang-siang naik angkutan umum kan panas, nanti sampe sekolah malah mandi keringat. Demikian pemikiran orang tua saya.
Namun jemputan tidak bertahan lama, karena di tahun kedua saya sudah mulai menggunakan angkutan umum kembali. Kenyataannya, saya tidak perlu mandi keringat ketika sampai ke sekolah karena jam masuk siang bukan merupakan jam sibuk saat itu, sehingga jalanan tidak macet ketika berangkat. Malah saya bertemu banyak teman di perjalanan menuju sekolah. Sebagai informasi, sekolah saya dari jalan raya yang dilewati angkutan umum berjarak 10 menit jalan kaki. Makanya tidak aneh jika saya bertemu banyak teman sepanjang perjalanan.
Jaman SD dan SMP hanya sesekali saya diantar pake mobil keluarga. Saat itu orang tua sudah memiliki mobil walaupun hanya mobil bekas. Bahkan seingat saya sampai saat ini orang tua saya hanya empat kali pernah punya mobil baru. Daihatsu Feroza, Hyundai Trajet, Chevrolet Spark dan yang terakhir Daihatsu Xenia. Saat itu mobil yang dipakai juga tidak pakai AC karena memang AC bukan kebutuhan utama mobil saat itu. Jadi saya diantar pake mobil hanya ketika ada acara penting seperti hari pertama sekolah, atau pengambilan rapor.
Saat itu pula, saya melihat bahwa jika sekolah diantar oleh kendaraan sendiri, maka orang tua yang bersangkutan adalah orang kaya. Beberapa teman saya sering diantar jemput oleh mobil orang tuanya. Malah ada juga yang punya supir pribadi sehingga pulang perginya terjamin. Itu adalah jaman SMP dimana saya senang sekali jika melihat orang naik mobil dan berpikir bahwa suatu saat saya juga akan naik mobil seperti dirinya.
Lanjut ke SMA kebetulan saya sekolah di komplek yang sama dengan komplek sekolah SD dan SMP saya. Jadi ya sekolahnya disitu-situ aja tempatnya. Ketika SMA saya sering berangkat bareng kakak saya naik angkutan umum ke sekolahan. Seperti biasa, diantar pakai mobil oleh orang tua hanya ketika ada acara tertentu di sekolah. Sayangnya jam sekolah saya saat SMA dari jam 7 pagi hingga jam 1/2 4 sore. Pulang sekolah langsung ke rumah. Jarang sekali main ke rumah teman seperti jaman SMP dahulu.
Di SMA makin banyak teman yang diantar jemput oleh mobil pribadi orang tuanya. Beberapa kali saya nebeng minimal sampai ke depan untuk mencegat angkutan umum. Lumayan mengurangi jalan beberapa menit. Beberapa kali saya tidak naik angkutan umum yang kedua ketiga pergi untuk lebih mempercepat waktu sampai di sekolah. Saat itu di Kalimalang kalau mendekati jam 7 pagi macet berat, sehingga saya dan kakak jalan lewat sawah-sawah dekat sekolahan dan muncul di bagian belakang sekolah melewati gereja. Perjalanan tersebut memakan waktu 15 menit setiap hari.
Tempat kuliah saya kebetulan jauh dari rumah. Tepatnya di daerah Depok. Untuk mengurangi rasa capek yang mungkin timbul, Papa saya mencarikan saya dan kakak tempat kos dekat kampus. Hari minggu malam atau senin pagi kita diantar ke tempat kos, dan hari jumat sore kita pulang ke rumah nebeng Papa yang kebetulan seorang dosen di kampus yang sama.
Saat itu saya juga sekali-kali naik angkutan umum pada hari-hari yang khusus. Untuk naik angkutan umum dibutuhkan 5 kali berganti angkutan. Mulai dari gapaksi yang lewat komplek. Mikrolet ke arah Kampung Melayu. Metromini ke stasiun kereta Tebet. Kereta Api Listrik ke stasiun UI. Dan yang terakhir Bus Kuning ke Kampus. Rata-rata dibutuhkan waktu 1 1/2 - 2 jam perjalanan dari rumah ke kampus maupun sebaliknya. Waktu tunggu terlama adalah kereta api yang tidak jelas jadwalnya.
Saat itu naik angkutan umum adalah pilihan terakhir. Saya lebih senang naik mobil bareng papa atau kakak saya karena bisa tidur di mobil dengan hembusan AC. Ya, saat itu mobil kami sudah punya AC dan merupakan barang yang penting karena sudah sering macet dan panas.
Jika menggunakan mobil maka jarak tempuh kami rata-rata hanya 45 menit hingga 1 jam. Lebih cepat dan lebih nyaman membuat saya lebih senang menggunakan mobil, apalagi saat itu saya disupiri karena belum bisa menyetir sendiri. Jelas moda transportasi ini yang saya pilih daripada saya harus berpanas-panas naik angkutan umum dengan desak-desakan, apalagi di kereta yang bisa hampir seperti sauna ketika jam sibuk.
Saat itu saya berpikir, rumah ke kampus tidak masalah jauh, yang penting ada mobil yang bisa mengantar saya ke mana-mana. Bahkan orang tua saya pun berpikir demikian. Sehingga di awal abad 21 ini mereka membeli tanah dan rumah di daerah pinggiran Jakarta yang tentunya jauh dari hiruk-pikuk kota. Daerah ini sampai saat ini masih tentram dan nyaman, namun memang harus dibayar dengan jarak yang jauh dari tengah kota. Toh saat itu jarak yang jauh bisa ditempuh hanya dengan beberapa menit berkendara.
Ketika kuliah mulai mendekati semester akhir, saya yang tadinya tidak bisa membawa mobil karena saat belajar mobil waktu SMP dulu pernah nabrak mobil Pak Minto, tetangga depan rumah, dan trauma karena dimarahi habis-habisan oleh Papa, mulai belajar naik mobil lagi dan alhamdulillah tidak terlalu lama akhirnya berani membawa mobil sendiri. Abis lulus kuliah dan pas pertama kali dapat kerja di daerah Bendungan Hilir pun saya selalu membawa mobil ke kantor. Dengan take home pay yang tidak besar, saya berani terus-terusan membawa mobil ke kantor. Toh saat itu menurut saya membawa mobil berarti efektif dan efisien. Efektif karena waktu perjalanan ke kantor bisa cuma 1/2 jam jika masih di bawah jam 6 pagi. Efisien karena harga bensin dan tol saat itu masih cukup murah. Bahkan ketika pulang nebengin teman kantor, tolnya suka dibayarin oleh mereka. Artinya saya menganggap dengan kemacetan yang sudah ada saat itu, membawa mobil adalah pilihan yang paling baik. Dan itu berlangsung terus hingga saya diterima bekerja di tempat yang lain.
Di tahun-tahun itu kami sekeluarga disibukkan dengan aktifitas masing-masing. Sehingga orang tua menyediakan satu mobil untuk tiap orang rumah. Jadilah kami pernah memiliki lima mobil dalam satu rumah suatu kali. Masing-masing mobil punya kepemilikan sendiri-sendiri. Saat itu rasanya saya berpikir bahwa inilah kesuksesan yang sesungguhnya dari keluarga kami. Saya pun makin terbiasa bawa mobil. Menikmati AC di kemacetan kota. Toh bagi saya saat itu pake mobil sendiri lebih cepat dan lebih nyaman. Kita hanya perlu menyesuaikan jadwal pergi dan pulang supaya tidak terlalu terjebak kemacetan.
Masa-masa indah rupanya tidak terlalu lama. Macet di Jakarta makin menjadi-jadi. Begitu saya punya uang sendiri hasil kerja, saya membeli motor untuk memudahkan saya berkeliling kota. Saat itu paradigma orang jika naik motor artinya kita mengatasi kemacetan yang ada di kota ini. Memang pakai motor kena hujan dan panas, tapi untuk urusan cepat sampai inilah rajanya. Apalagi kalau pakai motor kita tidak perlu mencari waktu yang tepat untuk pergi karena kapanpun bisa dilakukan.
Lagi-lagi masa indah versi kedua berlangsung sangat cepat. Kemacetan pun semakin menggila. Jumlah motor di kota ini semakin meningkat, sehingga ketika kemacetan terjadi bahkan untuk orang jalan di tengahnya pun sangat sulit saking padatnya kendaraan bermotor. Naik motor pun tidak seindah sebelumnya walaupun untuk beberapa tempat keunggulannya masih terasa.
Akhirnya saya sampai di suatu titik dimana naik kendaraan pribadi capek karena sangat macet, dan naik kendaraan umum penuh sesak kendaraan, panas dan tidak aman. Tidak ada satupun moda transportasi yang cepat dan nyaman menurut saya. Sampai akhirnya saya bertemu dengan situs nebeng.com dan berhasil kontak dengan salah satu membernya saat itu yang memiliki jalur yang sama dengan jalur ke kantor saya sehari-hari. Member tersebut bernama Andi Wardana. Dia biasa naik mobil ke kantor bareng istrinya dari daerah Kota Wisata ke Wisma BNI 46. Saya pun nebeng dengan Mas Andi ini ketika kantor masih di daerah Gatot Subroto dan Sudirman. Sebagai anggota nebeng saat itu saya tidak sendirian. Ada empat orang anggota reguler lainnya dan kami berpatungan memberikan kontribusi karena menebeng tersebut. Tarif nebeng tersebut jauh lebih murah dibandingkan moda transportasi lainnya, bahkan bisa bersaing dengan biaya menggunakan sepeda motor.
Nebeng mobil Mas Andi biasa saya lakukan hanya jam pergi kantor. Ketika jam pulang kantor saya biasa pulang sendiri dan menggunakan angkutan umum. Seperti biasa, kualitas angkutan umum sejak saya kecil hingga bekerja tidak juga beranjak baik, malah rasanya semakin memburuk karena seringnya berdesak-desakan. Tidak ada pilihan saat itu karena jika menggunakan mobil pribadi bensin mulai mahal. Tol pun juga mahal. Macet pula!! Jadi di saat itu menggunakan mobil mulai tidak ekonomis. Bahkan mobil yang ada di rumah pun satu per satu mulai dijual karena sering tidak dipakai dan mulai merongrong. Maklum rata-rata mobil bekas.
Saat itu mulai ada kampanye bike to work lewat internet dan media lainnya. Terakhir kali saya punya sepeda adalah jaman masih SD dahulu dengan trend sepeda federal. Tadinya berpikir bahwa naik sepeda ke kantor tidak menyenangkan, karena rumah di daerah pinggiran kota sedangkan kantor di daerah Sudirman dan Gatot Subroto. Naik motor aja membutuhkan waktu 1 1/2 jam. Kalau naik sepeda berapa lama? Pasti keringetan tuh ke kantor. Dan yang paling penting apakah saya kuat bersepeda demikian jauh? Karena dulu waktu kecil aja sepedaan hanya sampai komplek sebelah yang jaraknya tidak jauh.
Akhirnya saya punya keberanian untuk bersepeda ke tempat kerja setelah pindah kantor ke daerah TB Simatupang. Kebetulan di tempat kerja pun ada ruang untuk mandi setelah sepedaan dari rumah. Bahkan ada teman kerja yang juga pakai sepeda, yaitu Pak Nana dan Pak Samiyono, makin termotivasilah saya untuk bersepeda. Jadilah saya mulai bersepeda ke kantor diselingi dengan naik angkutan umum. Titik terang mengenai moda transportasi datang dari kebijakan kantor. Kantor tempat saya bekerja menyediakan jemputan ke kantor dari sekitar rumah karyawan. Tawaran ini sangat menggiurkan, walaupun kami masih harus membayar sejumlah uang yang dirasa tidak terlalu berat. Pembayaran sejumlah uang ini hanyalah sebuah komitmen agar ada kepastian jumlah orang yang ikut jemputan tersebut. Naik jemputan ini lebih enak lagi. Cepat, nyaman, kenal bahkan bersahabat dengan teman kantor di departemen lain dan yang pasti lebih irit dari moda transportasi apapun yang tersedia. Supir jemputan saya bernama Pak Yatno yang begitu gigih menjemput kami setiap hari sampai di masa libur lebaran pun dia tidak mudik karena integrasinya yang begitu tinggi dalam mengantar kami.
Saat ini saya sudah pindah rumah di Jakarta Barat. Disini kami memiliki dua mobil, dimana yang satu milik istri saya dan satu lagi milik mertua saya. Mobil mertua selalu dipakainya untuk beraktifitas setiap hari. Mobil istri saya lebih banyak nganggur di rumah, karena istri pun lebih memilih naik angkutan umum yang kurang manusiawi dibandingkan naik mobil yang walaupun nyaman, tapi mahal dan macetnya luar biasa.
Bahkan di hari libur saya lebih senang bepergian menggunakan sepeda daripada mobil, apalagi untuk jarak yang masih terbilang dekat, termasuk ke mal yang terdekat dengan rumah. Sayang istri saya tidak suka naik sepeda, sehingga jika saya bepergian dengan istri, maka kami selalu membawa mobil yang jarang dipakai tersebut.
Kembali ke perubahan yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Saya yang di waktu kecil sangat mengidam-idamkan memiliki mobil mewah karena merasa nyaman dan cepat sampai ke tujuan mulai mengubah pandangan saya mengenai penggunaan transportasi. Mengendarai mobil sendiri di Jakarta pada jam sibuk sangat tidak efektif dan efisien. Saya bahkan saat ini suka bingung kepada orang-orang yang masih suka mengendarai mobil sendiri pada jam-jam sibuk dengan kemacetan yang luar biasa. Apalagi jika ditambah dengan hujan yang turun, wah.....macetnya gak ketulungan!!!!
Saya lebih senang naik angkutan umum, walaupun sampai saat ini angkutan umum di Jakarta jauh dari manusiawi. Hidup selama 30 tahun di Jakarta, belum sekalipun saya merasakan ada angkutan umum yang manusiawi di kota ini. Satu-satunya angkutan umum yang paling manusiawi menurut saya adalah busway. Namun busway pun masih sangat jauh dari ideal.
Naik motor juga mulai saya tinggalkan saat ini. Memang saya belum menjual motor saya, karena masih dibutuhkan untuk antar-jemput jarak dekat dan masih dirasa efektif sampai saat ini. Tapi saya tidak pernah lagi menggunakan motor untuk jarak lebih dari 10 km, jika tidak terpaksa.
Anehnya, saya seperti kembali lagi ke masa kecil saya dimana saya suka bersepeda dan juga didaftarkan ikut jemputan. Kedua moda transportasi inilah yang sekarang lebih sering saya pilih. Sepeda dipilih karena memang asik bersepeda. Ada dua hal yang membuat saya tidak bersepeda ke kantor setiap hari. Pertama adalah hujan, dan yang kedua adalah jemputan yang disediakan kantor. Hujan memang menyulitkan pengendara sepeda, bahkan juga untuk pengendara motor. Jemputan kantor sangat menggiurkan. Karena di jemputan kita bisa ketawa-tawa bareng teman, atau tidur bersama....hal yang tidak bisa dilakukan jika menggunakan moda transportasi lain. Adakah yang bisa mengalahkan jemputan kantor? Saya belum menemuinya saat ini!!!
Saya sungguh senang kembali ke kebiasaan masa kecil dengan pola pikir dewasa. Saya rasa jika anda masih berpikir bahwa menggunakan mobil sendiri adalah pilihan terbaik, maka anda masih terkukung oleh pola pikir masa kanak-kanak anda dan itu akan makin menjerumuskan anda ke dalam kubang masalah transportasi di kota ini. Karena anda hanya bisa pasrah, tanpa bisa melakukan sesuatu untuk menyiasati keadaan apalagi memberikan solusi. Yang saya dapatkan sejak kecil, manusia adalah mahluk yang memiliki akal dan pikiran. Jika kita mau terus terjebak dengan keadaan dan tidak ingin berkreatifitas mencoba hal lain yang mungkin lebih baik, maka artinya kita sebagai manusia pada dasarnya tidak menggunakan akal dan pikirannya.
Setau saya keledai adalah mahluk paling buruk di muka bumi karena bisa masuk ke lubang yang sama dua kali. Kalau kita terjebak macet di tempat yang sama setiap hari selama bertahun-tahun, lalu kita disebut apa? Apakah manusia lebih buruk daripada keledai? Kalau saya bilang sih tidak, entah anda bilang apa!!
Rabu, Mei 12, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar