Senin, Mei 31, 2010

Premium Dilarang Masuk Jakarta (bagian 4)

Pada bagian ketiga dibahas mengenai reaksi dari berbagai kelompok masyarakat dan beberapa cara menanggulanginya. Pada bagian keempat ini akan dibahas mengenai dampak penghentian suplai premium bagi SPBU Pertamina.

Seperti diketahui, satu-satunya SPBU yang menjual BBM bersubsidi seperti premium adalah SPBU milik Pertamina. SPBU Pertamina sebagian besar dimiliki oleh swasta yang menginvestasikan uangnya untuk membangun SPBU, dan sebagian lagi merupakan investasi murni dari Pertamina. Keuntungan pengelola SPBU adalah margin harga beli dan jual BBM. Sehingga BBM jenis apapun yang dijual, jika dibeli dalam jumlah yang besar, maka keuntungan sudah berada di depan mata.

Dengan dihentikannya suplai premium, maka SPBU Pertamina yang ada di Jakarta akan sama dengan SPBU Shell, Petronas dan Total. Dan yang pasti jumlah kunjungan pembeli ke SPBU semakin sedikit karena memang lebih banyak pembeli yang membeli BBM bersubsidi semacam premium.

Pertamina pun harus lebih pandai mengelola SPBU yang menggunakan label dirinya. Selama ini dengan moto 'Pasti Pas' membuat pembeli seperti saya tetap ke SPBU pertamina untuk membeli BBM, baik subsidi ataupun tidak. Karena SPBU yang dilabeli 'Pasti Pas' dijamin takaran dan kualitasnya pas.

Dengan berakhirnya suplai premium, maka minimal SPBU Pertamina harus memiliki layanan yang sama dengan SPBU lainnya. Beberapa hal yang saya rasa kurang di SPBU Pertamina adalah

1. Sedikit sekali yang menyediakan layanan isi angin ban secara gratis
2. Masih adanya surcharge bagi pengguna kartu kredit walaupun tarifnya berbeda-beda antar SPBU
3. Tidak adanya layanan tambahan bagi pengemudi seperti ngelap kaca
4. Tidak mengarahkan pembeli masuk ke konter mini market (seperti yang dilakukan shell dengan menyediakan layanan pembayaran kartu kredit di konter mini market)
5. Petugas SPBU yang kurang aktif melayani pembeli, berbeda dengan kompetitornya yang seperti sales melihat prospek datang ke tempatnya

Namun hal itu semua masih bisa diubah. Apalagi Pertamina sudah mendapatkan tempat di hati masyarakat. Jika layanannya sama, kenapa harus ke lain tempat? Benar kan?

Jika memang kebijakan yang diusulkan diterapkan oleh pemerintah, maka Pertamina mempunyai waktu 6 bulan untuk berbenah. Tentunya waktu tersebut cukup lama bagi suatu perusahaan kelas dunia seperti Pertamina. Saya rasa dalam waktu 6 bulan Pertamina dapat memperbaiki kinerja SPBU-nya, minimal menyamakan layanan kompetitor, malah kalau bisa melebihi kinerja kompetitornya.

Kesempatan nih buat Pertamina benar-benar Head-to-Head dengan Shell, Petronas dan Total tanpa ada embel-embel jualan BBM Bersubsidi, kecuali solar yang masih disediakan.

Pemerintah....Berani Gak?

Pertamina.....Tunjukkan Nyalimu!!!

Minggu, Mei 30, 2010

Premium Dilarang Masuk Jakarta (bagian 3)

Pada bagian kedua dibahas mengenai persiapan penghentian suplai premium ke kota Jakarta. Dan persiapan ini membutuhkan biaya yang cukup besar, sesuai dengan biaya penghematan yang akan dihasilkan.

Pada bagian ketiga ini akan dibahas mengenai reaksi dan dampak dari penghentian suplai premium ke Jakarta. Reaksi ini kemungkinan negatif atau memanfaatkan celah dan bagaimana cara menanggulanginya.

Reaksi pertama dari pengguna kendaraan pribadi baik mobil ataupun motor. Reaksi dari kelompok ini tentunya paling bisa diprediksi. Dampak dari dihentikannya suplai premium ke Jakarta akan meningkatkan pemakaian premium di kota penyangga. Hal ini akan menyebabkan suplai premium ke beberapa kota penyangga harus ditambah paling tidak dalam bulan pertama setelah aturan diberlakukan. Lalu sedikit demi sedikit suplai dikurangi, hingga mencapai suplai seperti sebelum pemberlakuan aturan ini. Hal ini adalah hal yang lumrah, bahkan di perbatasan Singapura dan Malaysia pun banyak yang melakukan hal serupa. Namun mereka direpotkan oleh imigrasi antar negara, sehingga tidak ekonomis jika harus bolak-balik demi memperoleh BBM.

Hal yang sama juga akan berlaku disini. Jarak kota penyangga ke pusat bisnis Jakarta cukup jauh, dan yang paling terpenting adalah macet. Sehingga orang akan merasa kerepotan jika harus bolak-balik, bahkan jika mereka memiliki supir untuk melakukan hal tersebut. Sehingga untuk pengguna kendaraan pribadi tidak diperlukan pengawasan sama sekali karena memang dengan pelarangan suplai cukup membuat mereka kerepotan untuk menyiasatinya.

Kelompok kedua yang akan bereaksi adalah angkutan umum yang menggunakan premium yaitu angkutan kota yang berupa mobil minivan. Kelompok ini yang akan protes akan kebijakan tersebut. Namun saya rasa hanya sebagian yang benar-benar protes. Ini dikarenakan mobil angkutan umum yang berupa minivan biasanya lintas kota. Ada yang dari Tangerang ke Jakarta lewat Kali Deres, ada yang dari Depok ke Jakarta lewat Kampung Rambutan, ada yang dari Bekasi ke Jakarta lewat Pulo Gadung. Dan keseluruhan angkutan tersebut melewati daerah penyangga Jakarta. Sehingga bila mereka protes, maka tidak ada dasar sama sekali akan protesnya tersebut.

Yang menjadi masalah hanyalah angkutan mikrolet yang tidak melewati kota penyangga. Dan ini yang terkena dampak paling besar. Terus terang saya belum memiliki solusi untuk mikrolet yang tidak melewati kota penyangga tersebut. Tapi jika ditotal, maka jumlah mikrolet tersebut sedikit sekali dibandingkan total angkutan umum di Jakarta.

Kelompok berikutnya adalah armada taksi atau travel atau instansi pemerintah yang menggunakan premium. Seperti yang telah dibahas di bagian 2, maka taksi atau travel ini mempunyai hak untuk memiliki Stasiun Pengisian sendiri. Penyimpangan yang mungkin terjadi adalah beberapa taksi atau travel menjual premiumnya kepada umum dengan harga yang dimahalkan tapi tentunya lebih murah daripada BBM non subsidi. Iya hal ini bisa dilakukan, tapi dengan sistem tertutup tentunya hal itu akan sulit dilakukan terus menerus. Contohnya, rata-rata jarak tempuh taksi per hari di Jakarta adalah 400 km. Dengan rata-rata taksi menggunakan mobil yang penggunaan BBM-nya 1 : 10, maka rata-rata terpakai 40 liter BBM. Jika jumlah armada di pool taksi ada 100 unit, maka suplai BBM ke pool tersebut dibatasi hanya 4000 liter per hari. Sehingga jika memang ada oknum yang 'bandel', maka kebandelannya tidak akan berlangsung lama karena keuntungannya tidak seberapa, dan jika tertangkap tangan harus dikenakan hukuman yang berat, bagi oknum maupun instansinya.

Kelompok berikutnya adalah masyarakat umum. Penghentian premium di Jakarta akan disikapi dengan kenaikan barang kebutuhan. Mereka akan mengira bahwa karena BBM-nya non subsidi, maka angkutan barang menjadi lebih mahal. Namun itu adalah perkiraan yang salah. Angkutan kebutuhan pokok biasanya adalah angkutan antar kota, sehingga penghentian premium di kota Jakarta tidak mempengaruhi biaya angkutan sama sekali. Memang pasti ada kenaikan harga di beberapa bidang, tapi tentunya kenaikan itu adalah wajar karena masih harus membiasakan. Kenaikan yang paling mungkin adalah angkutan umum Mikrolet yang tidak memiliki jalur ke kota penyangga. Namun kenaikan itu juga tidak terlalu besar, apalagi jika busway sudah beroperasi secara ideal.

Mudah-mudahan dengan penghentian suplai premium ke Jakarta akan mengurangi kemacetan di Ibukota dan membuat perjalanan keliling Jakarta di hari kerja menjadi lebih nyaman, aman dan manusiawi.

Amin.........

Premium Dilarang Masuk Jakarta (bagian 2)

Di bagian pertama mengenai pelarangan premium telah diungkapkan bahwa premium hanya dihentikan suplainya untuk daerah kota Jakarta. Daerah penyangga seperti Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang masih diperbolehkan menyediakan premium.

Di bagian kedua ini akan dibahas mengenai persiapan hingga peluncuran kebijakan tersebut. Untuk mempersiapkan kebijakan ini, pemerintah harus menghitung perkiraan pengurangan subsidi yang bisa diperoleh jika kebijakan ini diterapkan dan pengurangan subsidi itu digunakan semaksimal mungkin untuk memperbaiki kinerja angkutan umum di kota Jakarta.

Hitungan kasar adalah sebagai berikut. Jika tiap hari ada 100 ribu mobil dan satu juta pengendara sepeda motor berkeliaran di Jakarta, dengan rata-rata pemakaian BBM subsidi adalah 5 liter untuk mobil dan 2 liter untuk motor, sehingga dalam 1 hari saja premium yang terpakai mencapai 2,5 juta liter premium. Dengan kebijakan ini diharapkan premium yang dipakai hanya 2,5 liter untuk mobil dan 1 liter untuk motor, sehingga ada penghematan sebesar 1,25 juta liter per hari. Jika sekarang harga BBM non subsidi berkisar di Rp 6800 per liter, maka secara kasar perhitungan premium jika tidak disubsidi adalah Rp 6500. Ada penghematan Rp 2000 per liternya, atau Rp 2,5 milyar per harinya. Dalam setahun dengan jumlah hari 360, maka akan ada penghematan sebesar Rp 900 milyar per tahun (sedikit mendekati Rp 1 triliyun).

Dengan potensi penghematan yang lumayan besar tersebut, maka pemerintah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki angkutan masal di Jakarta. Yang paling cepat dan masuk akal untuk diperbaiki adalah angkutan masal Busway yang saat ini masih terbengkalai 2 koridor karena pengadaan bus yang masih mandek hingga saat ini. Di samping itu dari 8 koridor yang ada sampai saat ini, hanya koridor 1 yang dianggap operasionalnya memadai. Koridor yang lain terhambat karena banyak bersinggungan dengan jalur biasa.

Untuk mempersiapkan perbaikan busway, maka pemerintah harus mengambil langkah untuk mempercepat pengadaan bus, meningkatkan pelayanan dan menjamin sterilisasi jalur busway untuk memberikan alternatif bagi pengguna jalan agar tidak selalu mengandalkan kendaraan pribadinya untuk berkeliling di kota Jakarta. Potensi penghematan subsidi tersebut harus dibayar di depan yang alokasinya antara lain :

1. Pengadaan Bus TransJakarta agar setiap koridor memiliki jumlah bus yang optimal
2. Perbaikan sarana halte dan pendukung lainnya
3. Penambahan petugas di jalanan untuk sterilisasi jalur
4. Pengadaan Bus Feeder dari kota penyangga untuk mempermudah akses menuju jalur Busway

Keempat hal di atas wajib dilakukan oleh pemerintah maksimal 6 bulan sebelum pelaksanaan kebijakan penghentian suplai premium di kota Jakarta. Hal ini untuk membiasakan pengguna jalan lain akan alternatif moda transportasi yang digunakan dan tidak melulu mengandalkan kendaraan pribadinya.

Dengan busway semakin baik operasionalnya, maka akan lebih banyak orang yang secara sadar berpindah menggunakan busway sebagai andalan transportasi mereka.

Lalu bagaimana dengan angkutan umum lain? Tentunya diperbaiki secara bertahap. Yang tadinya angkutan umum diusahakan oleh murni swasta dan hanya mencari keuntungan, maka waktu 6 bulan tersebut digunakan untuk menggodok sistem layanan angkutan umum yang lebih baik dan juga menguntungkan.

Armada taksi juga direstrukturisasi. Jika sebelumnya armada taksi masih menggunakan BBM premium (walaupun taksi premium yang menggunakan Alphard, Mercedes dan Hyundai), maka sekarang ini taksi tidak mudah untuk mendapatkan premiumnya. Namun hal itu masih bisa disiasati dengan masing-masing pool taksi memiliki Stasiun Pengisian sendiri untuk pengisian premium bagi taksi mereka. Sehingga suplai premium menjadi tertutup untuk di Jakarta.

Pengusaha travel pun bisa mengajukan hal yang sama dalam kurun waktu 6 bulan tersebut. Premium pada prinsipnya tidak dilarang digunakan, namun suplainya tidak lagi ke SPBU, tapi ke Stasiun Pengisian sendiri.

Hal yang sama diberlakukan juga untuk kendaraan dinas pemerintah seperti TNI/Polri. Mereka disediakan Stasiun Pengisian sendiri untuk keperluan operasionalnya. Tentunya dengan suplai sistem tertutup tersebut, akan lebih mudah dikontrol pemakaian BBM subsidi terutama premium.

Premium Dilarang Masuk Jakarta (bagian 1)

Beberapa hari ini lagi ramai pemberitaan mengenai usaha pemerintah membatasi penggunaan BBM bersubsidi, yaitu premium. Beberapa hal menjadi wacana seperti pembatasan berdasarkan tahun pembuatan untuk mobil, bahkan yang paling baru adalah pelarangan sepeda motor menggunakan BBM bersubsidi. Kedua wacana di atas cukup baik, namun lemah dalam hal pengawasan dan penindakan.

Wacana pembatasan BBM bersubsidi memang sangat menarik. Oleh karena itu saya akan mengusulkan kepada pemerintah hanya satu hal. Hentikan suplai Premium di kota Jakarta!!! Ya, dengan menghentikan suplai premium, maka otomatis pengguna BBM bersubsidi berkurang dan pemerintah tidak perlu mengadakan pengawasan mengenai pengguna BBM bersubsidi tersebut.

Cara kerjanya kira-kira begini. Suplai premium dihentikan di kota Jakarta saja. Kota penyangga Jakarta seperti Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang masih diperbolehkan untuk menyediakan premium.

Loh kok gitu? Sama aja donk!!!

Gak lah!! Untuk menuju kota penyangga Jakarta dibutuhkan waktu perjalanan yang tidak sedikit. Misalnya, dari Sudirman, bensin sudah hampir habis. Yang paling dekat kota penyangga adalah Bekasi, karena tinggal naik tol dalam kota dan turun di Bekasi Barat. Tapi coba bayangkan, berapa kilometer yang harus ditempuh? Apalagi kalau macet? Apakah worthed harus berulang kali bolak-balik hanya untuk mendapatkan premium? Padahal di Jalan Gatot Subroto hingga Cawang berjejer SPBU yang menyediakan BBM yang bukan premium.

Lalu bagaimana dengan orang yang memang tinggal di kota penyangga? Ya itu keuntungannya!! Mereka tetap bisa membeli premium. Yang penting di Jakarta premium tidak lagi disuplai.

Trus gimana dengan angkutan umum? Seperti yang dibilang, bahwa yang dihentikan hanya premium. Angkutan umum masih banyak yang menggunakan solar. Sehingga bus (besar maupun 3/4) masih bisa menikmati BBM bersubsidi. Dan kalau dilihat dari seluruh pengguna angkutan umum, rasanya hanya sebagian Mikrolet yang terkena dampaknya karena jalurnya tidak melewati kota penyangga Jakarta.

Bagaimana dengan pengendara sepeda motor? Untuk pengendara yang tinggal di daerah penyangga, tentunya tetap bisa membeli premium di dekat tempat tinggalnya. Tapi perlu diingat juga, kapasitas tangki motor tidak banyak. Rata-rata perjalanan sepeda motor yang dari kota penyangga bisa mencapai 100 km per harinya. Artinya mereka harus menyiapkan isi tangki bensinnya minimal 3 liter per tiap kali berangkat jika tidak mau mengisi BBM non subsidi di Jakarta.

Jadi dalam usulan ini yang ditekankan adalah kerepotan masing-masing individu untuk memperoleh BBM bersubsidi. Saya rasa SPBU kota penyangga hanya akan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mau membeli BBM non subsidi di awal-awal kebijakan ini dikeluarkan. Selanjutnya, orang akan merasa kerepotan dan mau tak mau mengubah kebiasaannya menjadi menggunakan BBM non subsidi.

Minggu, Mei 23, 2010

Review Sony Reader PRS-600

Setelah 10 hari menggunakan Sony Reader PRS-600 ada beberapa hal yang akan saya review. Mari kita mulai dengan layarnya.

Layar gadget ini memang tidak mengeluarkan cahaya. Buktinya ketika mencoba membaca dalam gelap, sama sekali tidak ada cahaya keluar dari reader ini. Artinya memang secara tampilan layar mirip sekali dengan buku, terutama buku yang kertasnya agak kecoklatan.

Daya tahan baterai memang tidak sampai dua minggu seperti yang disebutkan dalam spesifikasi dari website Sony. Aktual pemakaian aktif, dengan membolak-balik halaman dan zoom in zoom out adalah 4 hari kerja baterai sudah menunjukkan 'low bat'. Yang dimaksud dengan dua minggu mungkin jika file yang dibaca berformat 'epub' yang memang tidak memerlukan banyak refresh page. Dari spesifikasi website memang terlihat bahwa daya tahan baterai tergantung banyaknya membolak-balik halaman.

Sebagai gadget yang berlayar sentuh, tentu perlu juga direview mengenai performa layar sentuhnya. Reader ini sangat sensitif terhadap stylus bawaan, karena satu kali geser atau satu kali sentuhan, maka sudah terasa efeknya di layar. Jika memakai jari, harus agak sedikit ditekan, terutama untuk menggeser halaman.

Untuk masalah charging, ini adalah salah satu yang saya takutkan. Sampai hari ini saya baru sukses charging baterai reader ini di satu netbook kepunyaan istri saya. Saya pernah coba di komputer yang memiliki OS Windows XP yang lain, namun reader tidak dikenal dan tidak dalam posisi charged saat dikonek lewat USB. Mungkin saya akan coba di tempat lain lagi, tapi kebetulan komputer di rumah yang ada Windowsnya ya cuma dua itu. tidak ada masalah sama sekali apakah anda menggunakan windows maupun linux. Selama komputer mengenali reader sebagai salah satu mass storage, maka reader pun dalam posisi charging. Masa charged ketika low batt sekitar 3 jam-an.

Memory card yang support dengan reader ini adalah SD Card dan Memory Stick Duo. Saya sudah mencoba SD Card dari yang 128 MB (milik kamera pocket jenis lama) hingga yang 8 GB (baru beli beberapa hari yang lalu), dan semua sukses. Saran saya jangan menggunakan Micro SD Card dengan adapter untuk memory card reader ini, karena kemungkinan akan terbaca error oleh reader. Jadi tetap pake SD Card. 8 GB bisa buat simpan ribuan buku digital yang berbentuk pdf atau mungkin puluhan ribu yang bertipe epub atau txt.

Secara keseluruhan performa dari Reader yang baru 10 hari saya pakai cukup memuaskan. Memang belum ada wifi-nya bisa menjadi perbaikan pengembangan reader ini. Tapi yang bikin saya agak kesal, hari ini ketika lihat lagi reader ini di websitenya, harganya sudah berubah ke $199.....lumayan tuh beda $100....hehehe

O iya, gimana dengan buku digitalnya? Secara resmi buku digital belum ada satu tempat pun di Indonesia yang menjualnya, paling tidak yang saya ketahui. Sehingga untuk download buku-buku saat ini saya menggunakan pdf-pdf yang telah lama saya miliki, plus buku-buku klasik lama yang sudah gratis (project gutenberg adalah salah satu contohnya), dan untuk buku-buku terkini, dapat didownload dari forum-forum yang menyediakan link buku-buku laris, apapun keinginan anda. Jadi jangan takut readernya tidak terpakai, karena begitu banyak buku yang bisa di download di internet. Dan tentunya gratis......

Mudah-mudahan review ini berguna. Mau baca buku digital lagi ah di readerku malam ini....

Kamis, Mei 13, 2010

Kesan Pertama Sony Reader PRS-600

Seminggu yang lalu teman saya meng-sms saya apakah saya masih tertarik dengan e-book reader karena temannya teman saya sedang berada di Amrik saat itu. Langsung saja saya bilang masih tertarik dan segera memintanya untuk memesan Sony Reader PRS-300 yang price list minggu kemarin berdasarkan internet adalah $149.

Sayangnya barang yang saya inginkan tidak tersedia di beberapa tempat yang dikunjungi temannya teman saya. Dia bilang adanya PRS-600 yang harga price listnya $299. Saya kemudian menyetujui jika memang adanya yang $299 juga tidak apa-apa.


Hari ini, Kamis 13 Mei 2010, Sony Reader PRS-600 sudah saya terima dengan baik dari teman saya. Melihat berat dari spesifikasinya yang sekitar 300 gram, saya merasakan Sony Reader ini lebih berat daripada gadget lain seperti Blackberry atau PDA. Ini karena layar reader ini berukuran 6 inch, jauh dibandingkan layar PDA atau smartphone yang cuma 3 inch.

Reader ini juga terlihat sangat tipis, sehingga mirip memegang buku tipis dengan ukuran seperti buku novel yang beredar di toko buku. Warna reader yang saya terima adalah warna hitam. Jika dilihat di website www.sony.com reader semacam ini punya dua warna lagi yaitu merah dan silver.

Yang menarik reader ini memiliki fitur touch screen. Ada stylusnya pula. Sehingga ketika menggunakannya betul-betul mirip seperti menggunakan PDA, namun reader ini tidak memiliki koneksi internet baik Wifi maupun 3G. Kayanya kalau berminat ada koneksi internetnya harus cari yang lebih mahal lagi kali ya...

Yang disayangkan dari reader ini menurut buku manualnya adalah hanya kompatibel dengan OS Windows dan Mac. Linux belum disupport. Maksud support disini adalah software e-book library yang digunakan untuk transfer data dari komputer ke reader. Tanpa software ini reader hanya berguna untuk dicharge bila dicolok lewat koneksi USB ke komputer. Software tersebut tampilannya mirip seperti i-tunes dimana kita harus melakukan sinkronisasi ketika memasukkan sebuah data (buku) ke dalam reader tersebut.

Saya memilih minta dibelikan reader ini karena reader ini dapat membaca format pdf. Jadi setiap file dalam bentuk pdf dapat langsung dibaca oleh reader ini seperti membaca lewat komputer.

Keunggulan reader ini adalah layarnya yang pasif, sehingga tidak melelahkan mata. Saya memang belum membaca lama di reader ini karena baru 2 jam yang lalu saya terima.

Ditunggu review berikutnya mengenai Sony Reader PRS-600.....

Rabu, Mei 12, 2010

Perubahan Pola Pikir dan Perilaku Bertransportasi

Perubahan adalah salah satu hal yang pasti di dunia ini. Perubahan dapat terjadi mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks dan melibatkan hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini saya akan membahas perubahan pola pikir dan perilaku saya dalam bertransportasi.

Waktu saya masih kecil dan bersekolah di Taman Kanak-kanak, saya lebih banyak menggunakan becak sebagai alat transportasi saya ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah saya adalah sekitar 10-15 menit menggunakan becak. Saat itu becak lebih mudah didapat dan memungkinkan untuk ditumpangi lebih dari satu orang. Saya masih diantar oleh pengasuh saya yang saya panggil Emak walaupun kadang-kadang orang tua yang menemani ke sekolah.

Saat itu saya betul-betul belum tahu moda transportasi apa yang saya bisa pilih dan belum tahu kenapa memilih moda transportasi tersebut. Saya hanya mengikuti apa yang dipilih oleh orang yang mengantar saya sekolah dan kebanyakan si Emak memilih menggunakan becak.

Beranjak ke Sekolah Dasar saya masih belum memiliki pilihan moda transportasi. Saat itu yang dipilihkan orang tua ke saya adalah naik jemputan. Jemputan ini berupa mobil Mitsubishi L300 yang menurut saya sangat besar saat itu. Setiap pagi mobil ini menjemput saya dari rumah dan ketika jam sekolah usai mobil ini sudah menunggu di parkiran dekat sekolah. Saya menggunakan moda transportasi ini secara penuh hingga kelas 5 SD. Setelah itu saya mulai menentukan pilihan yaitu naik angkutan umum. Namun saya hanya naik angkot jika pulangnya. Paginya tetap dijemput oleh Pak Supir yang bernama Om An.

Saya memilih pulang naik angkutan umum saat itu karena terpengaruh ajakan teman. Rasanya kurang keren saat itu kalau naik jemputan, apalagi sudah kelas 6 SD. Jadilah tetap berlangganan jemputan, namun sering juga pulang sendiri dengan angkutan. Pikiran saya saat itu, saya sudah gede, jadi harus bisa mandiri. Dan untuk transportasi mandiri artinya bisa pulang sendiri. Mulai dari sinilah saya memiliki pilihan untuk transportasi yang saya gunakan, walaupun secara keseluruhan masih ditentukan oleh orang tua.

Saya ingat waktu itu pernah sekali pulang bareng teman. Uangnya hanya cukup untuk naik angkutan umum satu kali. Padahal untuk sampe ke rumah minimal kami harus naik angkutan umum dua kali. Dia bilang ke saya bahwa dia tak punya uang. Sedangkan saya punya uang yang cukup bahkan untuk membayari dia naik angkutan. Karena dia ngajak jalan ke rumah, akhirnya saya temani dia jalan kaki sampai ke rumah. Untuk diketahui, jarak jalan kaki kita saat itu adalah 2,5 km. Entah itu orang tau apa gak saat ini. Nama orang tersebut adalah Rully Septianto.

Masuk SMP saya masih didaftarkan ikut jemputan oleh orang tua. Kebetulan tahun pertama masuk siang. Kalau berangkat dari rumah siang-siang naik angkutan umum kan panas, nanti sampe sekolah malah mandi keringat. Demikian pemikiran orang tua saya.

Namun jemputan tidak bertahan lama, karena di tahun kedua saya sudah mulai menggunakan angkutan umum kembali. Kenyataannya, saya tidak perlu mandi keringat ketika sampai ke sekolah karena jam masuk siang bukan merupakan jam sibuk saat itu, sehingga jalanan tidak macet ketika berangkat. Malah saya bertemu banyak teman di perjalanan menuju sekolah. Sebagai informasi, sekolah saya dari jalan raya yang dilewati angkutan umum berjarak 10 menit jalan kaki. Makanya tidak aneh jika saya bertemu banyak teman sepanjang perjalanan.

Jaman SD dan SMP hanya sesekali saya diantar pake mobil keluarga. Saat itu orang tua sudah memiliki mobil walaupun hanya mobil bekas. Bahkan seingat saya sampai saat ini orang tua saya hanya empat kali pernah punya mobil baru. Daihatsu Feroza, Hyundai Trajet, Chevrolet Spark dan yang terakhir Daihatsu Xenia. Saat itu mobil yang dipakai juga tidak pakai AC karena memang AC bukan kebutuhan utama mobil saat itu. Jadi saya diantar pake mobil hanya ketika ada acara penting seperti hari pertama sekolah, atau pengambilan rapor.

Saat itu pula, saya melihat bahwa jika sekolah diantar oleh kendaraan sendiri, maka orang tua yang bersangkutan adalah orang kaya. Beberapa teman saya sering diantar jemput oleh mobil orang tuanya. Malah ada juga yang punya supir pribadi sehingga pulang perginya terjamin. Itu adalah jaman SMP dimana saya senang sekali jika melihat orang naik mobil dan berpikir bahwa suatu saat saya juga akan naik mobil seperti dirinya.

Lanjut ke SMA kebetulan saya sekolah di komplek yang sama dengan komplek sekolah SD dan SMP saya. Jadi ya sekolahnya disitu-situ aja tempatnya. Ketika SMA saya sering berangkat bareng kakak saya naik angkutan umum ke sekolahan. Seperti biasa, diantar pakai mobil oleh orang tua hanya ketika ada acara tertentu di sekolah. Sayangnya jam sekolah saya saat SMA dari jam 7 pagi hingga jam 1/2 4 sore. Pulang sekolah langsung ke rumah. Jarang sekali main ke rumah teman seperti jaman SMP dahulu.

Di SMA makin banyak teman yang diantar jemput oleh mobil pribadi orang tuanya. Beberapa kali saya nebeng minimal sampai ke depan untuk mencegat angkutan umum. Lumayan mengurangi jalan beberapa menit. Beberapa kali saya tidak naik angkutan umum yang kedua ketiga pergi untuk lebih mempercepat waktu sampai di sekolah. Saat itu di Kalimalang kalau mendekati jam 7 pagi macet berat, sehingga saya dan kakak jalan lewat sawah-sawah dekat sekolahan dan muncul di bagian belakang sekolah melewati gereja. Perjalanan tersebut memakan waktu 15 menit setiap hari.

Tempat kuliah saya kebetulan jauh dari rumah. Tepatnya di daerah Depok. Untuk mengurangi rasa capek yang mungkin timbul, Papa saya mencarikan saya dan kakak tempat kos dekat kampus. Hari minggu malam atau senin pagi kita diantar ke tempat kos, dan hari jumat sore kita pulang ke rumah nebeng Papa yang kebetulan seorang dosen di kampus yang sama.

Saat itu saya juga sekali-kali naik angkutan umum pada hari-hari yang khusus. Untuk naik angkutan umum dibutuhkan 5 kali berganti angkutan. Mulai dari gapaksi yang lewat komplek. Mikrolet ke arah Kampung Melayu. Metromini ke stasiun kereta Tebet. Kereta Api Listrik ke stasiun UI. Dan yang terakhir Bus Kuning ke Kampus. Rata-rata dibutuhkan waktu 1 1/2 - 2 jam perjalanan dari rumah ke kampus maupun sebaliknya. Waktu tunggu terlama adalah kereta api yang tidak jelas jadwalnya.

Saat itu naik angkutan umum adalah pilihan terakhir. Saya lebih senang naik mobil bareng papa atau kakak saya karena bisa tidur di mobil dengan hembusan AC. Ya, saat itu mobil kami sudah punya AC dan merupakan barang yang penting karena sudah sering macet dan panas.

Jika menggunakan mobil maka jarak tempuh kami rata-rata hanya 45 menit hingga 1 jam. Lebih cepat dan lebih nyaman membuat saya lebih senang menggunakan mobil, apalagi saat itu saya disupiri karena belum bisa menyetir sendiri. Jelas moda transportasi ini yang saya pilih daripada saya harus berpanas-panas naik angkutan umum dengan desak-desakan, apalagi di kereta yang bisa hampir seperti sauna ketika jam sibuk.

Saat itu saya berpikir, rumah ke kampus tidak masalah jauh, yang penting ada mobil yang bisa mengantar saya ke mana-mana. Bahkan orang tua saya pun berpikir demikian. Sehingga di awal abad 21 ini mereka membeli tanah dan rumah di daerah pinggiran Jakarta yang tentunya jauh dari hiruk-pikuk kota. Daerah ini sampai saat ini masih tentram dan nyaman, namun memang harus dibayar dengan jarak yang jauh dari tengah kota. Toh saat itu jarak yang jauh bisa ditempuh hanya dengan beberapa menit berkendara.

Ketika kuliah mulai mendekati semester akhir, saya yang tadinya tidak bisa membawa mobil karena saat belajar mobil waktu SMP dulu pernah nabrak mobil Pak Minto, tetangga depan rumah, dan trauma karena dimarahi habis-habisan oleh Papa, mulai belajar naik mobil lagi dan alhamdulillah tidak terlalu lama akhirnya berani membawa mobil sendiri. Abis lulus kuliah dan pas pertama kali dapat kerja di daerah Bendungan Hilir pun saya selalu membawa mobil ke kantor. Dengan take home pay yang tidak besar, saya berani terus-terusan membawa mobil ke kantor. Toh saat itu menurut saya membawa mobil berarti efektif dan efisien. Efektif karena waktu perjalanan ke kantor bisa cuma 1/2 jam jika masih di bawah jam 6 pagi. Efisien karena harga bensin dan tol saat itu masih cukup murah. Bahkan ketika pulang nebengin teman kantor, tolnya suka dibayarin oleh mereka. Artinya saya menganggap dengan kemacetan yang sudah ada saat itu, membawa mobil adalah pilihan yang paling baik. Dan itu berlangsung terus hingga saya diterima bekerja di tempat yang lain.

Di tahun-tahun itu kami sekeluarga disibukkan dengan aktifitas masing-masing. Sehingga orang tua menyediakan satu mobil untuk tiap orang rumah. Jadilah kami pernah memiliki lima mobil dalam satu rumah suatu kali. Masing-masing mobil punya kepemilikan sendiri-sendiri. Saat itu rasanya saya berpikir bahwa inilah kesuksesan yang sesungguhnya dari keluarga kami. Saya pun makin terbiasa bawa mobil. Menikmati AC di kemacetan kota. Toh bagi saya saat itu pake mobil sendiri lebih cepat dan lebih nyaman. Kita hanya perlu menyesuaikan jadwal pergi dan pulang supaya tidak terlalu terjebak kemacetan.

Masa-masa indah rupanya tidak terlalu lama. Macet di Jakarta makin menjadi-jadi. Begitu saya punya uang sendiri hasil kerja, saya membeli motor untuk memudahkan saya berkeliling kota. Saat itu paradigma orang jika naik motor artinya kita mengatasi kemacetan yang ada di kota ini. Memang pakai motor kena hujan dan panas, tapi untuk urusan cepat sampai inilah rajanya. Apalagi kalau pakai motor kita tidak perlu mencari waktu yang tepat untuk pergi karena kapanpun bisa dilakukan.

Lagi-lagi masa indah versi kedua berlangsung sangat cepat. Kemacetan pun semakin menggila. Jumlah motor di kota ini semakin meningkat, sehingga ketika kemacetan terjadi bahkan untuk orang jalan di tengahnya pun sangat sulit saking padatnya kendaraan bermotor. Naik motor pun tidak seindah sebelumnya walaupun untuk beberapa tempat keunggulannya masih terasa.

Akhirnya saya sampai di suatu titik dimana naik kendaraan pribadi capek karena sangat macet, dan naik kendaraan umum penuh sesak kendaraan, panas dan tidak aman. Tidak ada satupun moda transportasi yang cepat dan nyaman menurut saya. Sampai akhirnya saya bertemu dengan situs nebeng.com dan berhasil kontak dengan salah satu membernya saat itu yang memiliki jalur yang sama dengan jalur ke kantor saya sehari-hari. Member tersebut bernama Andi Wardana. Dia biasa naik mobil ke kantor bareng istrinya dari daerah Kota Wisata ke Wisma BNI 46. Saya pun nebeng dengan Mas Andi ini ketika kantor masih di daerah Gatot Subroto dan Sudirman. Sebagai anggota nebeng saat itu saya tidak sendirian. Ada empat orang anggota reguler lainnya dan kami berpatungan memberikan kontribusi karena menebeng tersebut. Tarif nebeng tersebut jauh lebih murah dibandingkan moda transportasi lainnya, bahkan bisa bersaing dengan biaya menggunakan sepeda motor.

Nebeng mobil Mas Andi biasa saya lakukan hanya jam pergi kantor. Ketika jam pulang kantor saya biasa pulang sendiri dan menggunakan angkutan umum. Seperti biasa, kualitas angkutan umum sejak saya kecil hingga bekerja tidak juga beranjak baik, malah rasanya semakin memburuk karena seringnya berdesak-desakan. Tidak ada pilihan saat itu karena jika menggunakan mobil pribadi bensin mulai mahal. Tol pun juga mahal. Macet pula!! Jadi di saat itu menggunakan mobil mulai tidak ekonomis. Bahkan mobil yang ada di rumah pun satu per satu mulai dijual karena sering tidak dipakai dan mulai merongrong. Maklum rata-rata mobil bekas.

Saat itu mulai ada kampanye bike to work lewat internet dan media lainnya. Terakhir kali saya punya sepeda adalah jaman masih SD dahulu dengan trend sepeda federal. Tadinya berpikir bahwa naik sepeda ke kantor tidak menyenangkan, karena rumah di daerah pinggiran kota sedangkan kantor di daerah Sudirman dan Gatot Subroto. Naik motor aja membutuhkan waktu 1 1/2 jam. Kalau naik sepeda berapa lama? Pasti keringetan tuh ke kantor. Dan yang paling penting apakah saya kuat bersepeda demikian jauh? Karena dulu waktu kecil aja sepedaan hanya sampai komplek sebelah yang jaraknya tidak jauh.

Akhirnya saya punya keberanian untuk bersepeda ke tempat kerja setelah pindah kantor ke daerah TB Simatupang. Kebetulan di tempat kerja pun ada ruang untuk mandi setelah sepedaan dari rumah. Bahkan ada teman kerja yang juga pakai sepeda, yaitu Pak Nana dan Pak Samiyono, makin termotivasilah saya untuk bersepeda. Jadilah saya mulai bersepeda ke kantor diselingi dengan naik angkutan umum. Titik terang mengenai moda transportasi datang dari kebijakan kantor. Kantor tempat saya bekerja menyediakan jemputan ke kantor dari sekitar rumah karyawan. Tawaran ini sangat menggiurkan, walaupun kami masih harus membayar sejumlah uang yang dirasa tidak terlalu berat. Pembayaran sejumlah uang ini hanyalah sebuah komitmen agar ada kepastian jumlah orang yang ikut jemputan tersebut. Naik jemputan ini lebih enak lagi. Cepat, nyaman, kenal bahkan bersahabat dengan teman kantor di departemen lain dan yang pasti lebih irit dari moda transportasi apapun yang tersedia. Supir jemputan saya bernama Pak Yatno yang begitu gigih menjemput kami setiap hari sampai di masa libur lebaran pun dia tidak mudik karena integrasinya yang begitu tinggi dalam mengantar kami.

Saat ini saya sudah pindah rumah di Jakarta Barat. Disini kami memiliki dua mobil, dimana yang satu milik istri saya dan satu lagi milik mertua saya. Mobil mertua selalu dipakainya untuk beraktifitas setiap hari. Mobil istri saya lebih banyak nganggur di rumah, karena istri pun lebih memilih naik angkutan umum yang kurang manusiawi dibandingkan naik mobil yang walaupun nyaman, tapi mahal dan macetnya luar biasa.

Bahkan di hari libur saya lebih senang bepergian menggunakan sepeda daripada mobil, apalagi untuk jarak yang masih terbilang dekat, termasuk ke mal yang terdekat dengan rumah. Sayang istri saya tidak suka naik sepeda, sehingga jika saya bepergian dengan istri, maka kami selalu membawa mobil yang jarang dipakai tersebut.

Kembali ke perubahan yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Saya yang di waktu kecil sangat mengidam-idamkan memiliki mobil mewah karena merasa nyaman dan cepat sampai ke tujuan mulai mengubah pandangan saya mengenai penggunaan transportasi. Mengendarai mobil sendiri di Jakarta pada jam sibuk sangat tidak efektif dan efisien. Saya bahkan saat ini suka bingung kepada orang-orang yang masih suka mengendarai mobil sendiri pada jam-jam sibuk dengan kemacetan yang luar biasa. Apalagi jika ditambah dengan hujan yang turun, wah.....macetnya gak ketulungan!!!!

Saya lebih senang naik angkutan umum, walaupun sampai saat ini angkutan umum di Jakarta jauh dari manusiawi. Hidup selama 30 tahun di Jakarta, belum sekalipun saya merasakan ada angkutan umum yang manusiawi di kota ini. Satu-satunya angkutan umum yang paling manusiawi menurut saya adalah busway. Namun busway pun masih sangat jauh dari ideal.

Naik motor juga mulai saya tinggalkan saat ini. Memang saya belum menjual motor saya, karena masih dibutuhkan untuk antar-jemput jarak dekat dan masih dirasa efektif sampai saat ini. Tapi saya tidak pernah lagi menggunakan motor untuk jarak lebih dari 10 km, jika tidak terpaksa.

Anehnya, saya seperti kembali lagi ke masa kecil saya dimana saya suka bersepeda dan juga didaftarkan ikut jemputan. Kedua moda transportasi inilah yang sekarang lebih sering saya pilih. Sepeda dipilih karena memang asik bersepeda. Ada dua hal yang membuat saya tidak bersepeda ke kantor setiap hari. Pertama adalah hujan, dan yang kedua adalah jemputan yang disediakan kantor. Hujan memang menyulitkan pengendara sepeda, bahkan juga untuk pengendara motor. Jemputan kantor sangat menggiurkan. Karena di jemputan kita bisa ketawa-tawa bareng teman, atau tidur bersama....hal yang tidak bisa dilakukan jika menggunakan moda transportasi lain. Adakah yang bisa mengalahkan jemputan kantor? Saya belum menemuinya saat ini!!!

Saya sungguh senang kembali ke kebiasaan masa kecil dengan pola pikir dewasa. Saya rasa jika anda masih berpikir bahwa menggunakan mobil sendiri adalah pilihan terbaik, maka anda masih terkukung oleh pola pikir masa kanak-kanak anda dan itu akan makin menjerumuskan anda ke dalam kubang masalah transportasi di kota ini. Karena anda hanya bisa pasrah, tanpa bisa melakukan sesuatu untuk menyiasati keadaan apalagi memberikan solusi. Yang saya dapatkan sejak kecil, manusia adalah mahluk yang memiliki akal dan pikiran. Jika kita mau terus terjebak dengan keadaan dan tidak ingin berkreatifitas mencoba hal lain yang mungkin lebih baik, maka artinya kita sebagai manusia pada dasarnya tidak menggunakan akal dan pikirannya.

Setau saya keledai adalah mahluk paling buruk di muka bumi karena bisa masuk ke lubang yang sama dua kali. Kalau kita terjebak macet di tempat yang sama setiap hari selama bertahun-tahun, lalu kita disebut apa? Apakah manusia lebih buruk daripada keledai? Kalau saya bilang sih tidak, entah anda bilang apa!!

Minggu, Mei 09, 2010

Hasil Mencari Kata SMU di Google

Sore ini ketika sedang menyetir mobil menuju rumah, saya mendengarkan radio mengenai perbincangan antara penyiar dengan seorang menteri kabinet saat ini. Ada hal menarik yang saya dengar dari Sang Menteri, bahwa jika kita mengetik kata "SMU" di google, maka akan keluar SMU Bokep, SMU telanjang dan SMU lain yang berbau porno.


Tergelitik dengan pernyataan tersebut, saya lalu mencoba mengetik kata "SMU" di google, dan inilah hasilnya:


Rupanya yang disebutkan Sang Menteri benar adanya...Sungguh sangat memprihatinkan kondisi ini!!!

Hutan Kota Srengseng

Hutan Kota Srengseng terletak di Jl. H. Kelik Jakarta Barat atau tepatnya di depan gerbang perumahan Permata Regensi. Pagi ini pertama kali saya dan istri kesana. Masuk kesana gratis dan tidak dipungut bayaran. Banyak orang di dalamnya, termasuk orang-orang yang berjualan di sana. Bahkan ada juga penyewaan kuda poni jika ingin berkuda mengelilingi hutan yang lumayan luas untuk ukuran Jakarta.

Kesan pertama ketika memasuki hutan kota ini adalah kesan hutannya begitu kentara. Bukan karena lingkungannya yang asri, tapi karena tidak terawatnya lingkungan tersebut. Sampah daun, lumut dan kesan lembab mewarnai hutan kota ini. Namun karena campur tangan manusia yang tidak mengerti lingkungan, di beberapa tempat juga terdapat sampah plastik yang berserakan.

Di dalam hutan kota sebenarnya bisa dipraktekan penggunaan lubang biopori. Melihat sampah daun yang begitu banyak dan tanah yang cukup luas di sekitar pepohonan. Mungkin akan lebih baik dibuat lubang biopori dan pengunjung diajarkan untuk mengisi sampah daun ke dalam lubang tersebut supaya tanah di hutan kota makin subur. Sayang hal itu tidak dilakukan.

Yang membuat saya bertanya-tanya, apakah hutan kota ini juga tergenang banjir ketika sungai pesanggrahan meluap? Soalnya letaknya dengan aliran sungai sungguh dekat, bahkan di dalam hutan kota ada kolam yang feedernya dari sungai pesanggrahan walaupun ada pintu air yang mengautr debit masukan air.

Jadi, jika anda ingin suasana hutan yang sesungguhnya, maka Hutan Kota Srengseng adalah pilihan yang cukup tepat menggambarkan suasana hutan. Bedanya, anda tidak akan menemukan hewan liar di hutan ini, paling nyamuk-nyamuk karena sampah berserakan dimana-mana.

Kapan ya ada program biopori di Hutan Kota Srengseng? Kutunggu program dari Pemda untuk memberdayakan Hutan Kota sebagai tempat edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan dan tidak hanya sebagai tempat rekreasi murah semata yang ujung-ujungnya meninggalkan sampah plastik yang merusak keindahan dan lingkungan sekitar Hutan Kota tersebut.

Sabtu, Mei 08, 2010

Investasi atau Asuransi atau Keduanya?

Kalau saya ditanya mengenai pertanyaan di atas maka akan saya jawab keduanya. Namun keduanya disini bukan berada dalam satu produk, melainkan dalam produk terpisah. Jika mau investasi, pilihlah produk investasi! Jika mau asuransi, pilihlah produk asuransi! Saya tidak akan menggabungkan keduanya karena masing-masing produk sudah banyak beredar di pasaran dan banyak provider yang menawarkan keduanya secara terpisah.

Investasi bagi seorang pekerja adalah menyisihkan sebagian imbalan yang diterimanya untuk kepentingan masa depannya. Kepentingan masa depan itu misalnya adalah biaya pendidikan anak, biaya naik haji, ataupun biaya liburan impian ke negeri impian. Dengan kata lain kepentingan masa depan menjadi hak masing-masing orang untuk menentukannya sendiri.

Asuransi bagi seorang pekerja adalah menyisihkan sebagian imbalan yang diterimanya untuk perlindungan kerugian yang akan dihadapinya dalam periode waktu tertentu. Perlindungan ini bisa berupa perlindungan akan materi maupun perlindungan atas diri sendiri maupun keluarganya. Jenis asuransi itu antara lain adalah asuransi jiwa, asuransi kebakaran, asuransi mobil dan asuransi kesehatan. Tentunya jenis perlindungan yang dibutuhkan masing-masing orang juga berbeda antara satu dengan lainnya. 

Dengan sama-sama menyisihkan sebagian imbalan, alangkah baiknya jika investasi dan asuransi digabung dalam satu produk. Toh kebutuhan masing-masing orang akan investasi dan asuransi berbeda-beda, tentunya akan lebih mudah digabung dalam satu produk, yang pastinya selain menawarkan benefit investasi, nasabahnya juga mendapatkan benefit perlindungan. Betul-betul konsep yang sangat menarik!!

Tapi........ tunggu dulu!! 

Jika anda berinvestasi maka akan ada ketidakpastian di masa datang akan uang yang anda investasikan tersebut. Uang anda bisa saja bertambah dengan lambat, sedang atau cepat, bahkan kadang-kadang uang anda berkurang dan investasi anda merugi. Sedangkan jika anda menandatangani kontrak asuransi maka anda akan dilindungi selama periode tertentu dengan biaya yang namanya premi yang biasanya hangus ketika tidak terjadi apa-apa selama periode tersebut. 

Di dalam kontrak asuransi anda akan mendapatkan suatu nilai tertentu yang namanya uang pertanggungan jika sesuatu yang anda lindungi tersebut mengalami kerugian selama periode kontrak asuransi. Nah pertanyaannya, jika memang ada produk investasi yang sekaligus asuransi, artinya anda menandatangani kontrak yang seharusnya melindungi terhadap kejadian yang tidak anda inginkan sekaligus melindungi investasi anda dalam periode waktu tersebut. 

Apakah memang demikian? Tentu tidak!! 

Yang terjadi adalah anda memang dilindungi dari kejadian yang tidak anda inginkan selama periode kontrak. Namun investasi anda dibiarkan tanpa perlindungan. Artinya, investasi anda akan naik jika memang pasar lagi bagus dan akan turun jika memang pasar lagi krisis. Dengan kata lain resiko investasi anda dengan menggunakan produk gabungan asuransi dan investasi memiliki resiko dan return yang sama dengan produk investasi tanpa asuransi. 
Malah ada kemungkinan biaya yang anda keluarkan, baik untuk premi maupun biaya kelola investasi menjadi lebih mahal daripada anda membeli produk investasi dan asuransi secara terpisah. Logikanya dengan menggabungkan produk tentunya biayanya menjadi lebih besar daripada membeli secara terpisah. Biaya apa yang lebih mahal? Jawabannya adalah biaya waktu. Kok bisa?

Silakan lihat saldo investasi anda ketika sudah melakukan pembayaran pertama. Anda akan melihat bahwa saldo investasi anda lebih kecil daripada pembayaran yang anda lakukan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena produk gabungan ini memaksimalkan biaya premi di tahun-tahun awal kontrak asuransi anda. Buktinya adalah ketika anda melihat tabel ilustrasi dari marketing produk gabungan ini, anda akan melihat bahwa saldo investasi anda akan mencapai impas (nilai saldo sesuai dengan jumlah yang anda bayar) ketika anda sudah menjadi nasabah selama 3 - 5 tahun dengan ilustrasi return yang ditampilkan. Kemana uang anda selama 3 - 5 tahun tersebut? Tentunya tersedot oleh yang namanya premi. Seperti diketahui premi ini sifatnya hangus, sesuai nature dari asuransi.

Biaya waktu yang saya sebutkan sebelumnya pada prinsipnya adalah Time Value of Money. Istilah ini menyatakan bahwa uang seribu rupiah hari ini lebih bernilai daripada uang seribu rupiah sebulan, setahun, atau 10 tahun mendatang. Dengan menandatangani kontrak produk gabungan, anda harus membayar premi di awal yang tentunya nilainya lebih besar daripada anda membaginya sama besar selama periode kontrak. Anda membayar kewajiban anda di awal dan dipaksa untuk tetap berada di dalam kontrak selama tahun-tahun berikutnya.

Mungkin anda berpikir tidak masalah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika dalam tahun-tahun awal anda bergabung, return investasi yang dihasilkan pasar sangat besar. Ini adalah rugi akan kesempatan mendapatkan return yang tinggi dari investasi, karena uang anda dipotong dengan jumlah yang lumayan untuk premi asuransi. Yang paling menyakitkan adalah anda tidak dapat mengalihkan jenis investasi anda ke tempat kelola lain yang mungkin lebih baik jika returnnya tidak seperti yang anda idamkan. Kontrak asuransi yang membuat anda harus menerima apa adanya akan nilai uang anda di masa mendatang dan tidak dapat melakukan sesuatu apapun kepada uang investasi tersebut sebelum dia jatuh tempo. Anda mungkin bisa menarik saldo anda, tapi bukan semuanya, dan kemungkinan terkena biaya administrasi yang sangat besar jika ingin menarik semuanya.

Bagaimana dengan kepraktisan? Memang perlu diakui dengan menggunakan produk gabungan tentunya kita tidak lagi repot mencari provider terpisah untuk investasi maupun asuransi. Tapi itu kan berlaku jika kita memang tidak memiliki informasi mengenai investasi dan asuransi secara terpisah. Memang dengan memisahkan keduanya kehidupan kita akan lebih repot daripada memilih keduanya dalam satu produk gabungan. Tapi rasanya kerepotan tersebut masih cukup sepadan dibandingkan dengan biaya besar yang harus anda keluarkan, dan kebanyakan merupakan biaya kesempatan, dimana ketika kita memilih produk gabungan, kita tidak memiliki kontrol akan investasi kita sama sekali karena sangat ditentukan oleh kinerja dari pengelola investasi tersebut yang sebenarnya bisa kita bandingkan antara satu dengan lainnya.

Sekarang anda tinggal memilih, mau yang praktis dengan biaya mahal, atau agak repot sedikit tapi menghemat biaya sangat besar dan menentukan kendali investasi anda sendiri.

Pilihan ada di tangan anda....

Jika lain kali ada teman atau kerabat yang menawarkan produk gabungan antara asuransi dan investasi, mohon pikir lagi. Saya pernah mengalaminya, dan investasi saya tidak berjalan sesuai tabel ilustrasi yang diberikan di awal. Saat itu memang saya tidak mengerti dan tidak tahu. Namun saat ini saya tahu dan memberitahu anda-anda sekalian agar lebih cermat dan tidak terbuai oleh rayuan teman atau kerabat atau siapa saja yang menawarkan produk gabungan tersebut.

Semoga berhasil dalam menentukan Investasi dan Asuransi untuk anda sendiri...

Selasa, Mei 04, 2010

Hasil Lab Frisian Flag

Mungkin masih ingat entri saya sebelumnya tentang susu kemasan yang saya komplain ke produsennya dan saya mendapatkan hadiah lima buah susu kemasan dengan tipe yang sama. Jika sudah lupa, ini linknya http://plibaknikmatstrelak.blogspot.com/2010/04/komplain-berbuah-hadiah.html. Nah, beberapa hari yang lalu, datang surat jawaban dari pihak Frisian Flag mengenai komplain saya tersebut.

Inti dari surat tersebut adalah, pihak Frisian Flag akhirnya melakukan pemeriksaan produk kemasan dengan kode produksi yang sama dan menarik kesimpulan bahwa tidak ada kesalahan dalam proses produksi tersebut. Kesalahan yang ada di kemasan yang saya alami kemungkinan karena proses pendistribusian.

Saya tidak akan memberikan komentar mengenai isi dari jawaban tersebut. Saya hanya akan memberikan apresiasi kepada Frisian Flag yang telah demikian peduli kepada kepentingan konsumennya. Terima kasih Frisian Flag. Semoga perusahaan lain mengikuti jejaknya dalam memperhatikan keluhan pelanggannya.