Beberapa hari lalu sudah digelar sidang paripurna DPR dan menghasilkan putusan mengenai kasus Century dengan sistem voting karena tidak mampu menghasilkan putusan yang mufakat. Putusan ini memang terasa demokratis, karena memang voting dibenarkan untuk dilakukan. Namun yang jadi permasalahan adalah voting yang berlangsung sangat tradisional --kalau tidak mau dibilang kuno-- dengan masing-masing anggota berdiri --menggantikan tunjuk tangan-- dan dihitung secara manual oleh petugas sekretariat DPR.
Miris memang, gedung DPR yang dibuat dengan biaya sangat besar, bahkan beberapa bulan lalu kita dihebohkan oleh pembelian komputer all-in-one merek Dell untuk tiap anggota DPR yang satu buahnya beharga belasan juta rupiah. Tapi untuk membuat suatu keputusan penting, dilakukan dengan voting tradisional, seperti jaman saya masih sekolah di Sekolah Dasar dahulu ketika kita ditanya oleh Bu Guru mengenai setuju tidaknya kita mengenai ide yang dikemukakan di kelas.
Berbeda dengan acara di salah satu stasiun tivi yang sedang populer saat ini. Untuk menentukan pemenang acara digunakan 100 juri vote lock yang independent dan masing-masing berhak memilih ya atau tidak di pilihannya. Jika juri tersebut memilih ya, maka akan dihitung sebagai satu suara, dan jika memilih tidak, maka suaranya tidak dihitung sebagai suara yang memilih peserta yang dimaksud. Juri vote lock diberikan waktu 5-10 detik untuk memilih dan hasilnya dapat dilihat pada saat pengumuman pemenang.
Atau ada lagi acara yang juga sudah cukup lama di televisi, biasanya ditayangkan di tivi pada pagi hari. Acara ini menggunakan semacam alat untuk memilih jawaban, apakah A atau B, dan masing-masing peserta hanya diberikan waktu 5 detik sebelum jawaban pertanyaan dilock. Di situ secara real time bisa keliatan peserta mana yang menjawab benar dan salah. Hasilnya dapat langsung diketahui setelah semua soal telah ditanyakan dan dibahas oleh pembawa acara. Pemenang pertama hingga kelima langsung ketahuan dalam hitungan beberapa menit, itu juga karena dilama-lamain oleh si pembawa acara.
Dua contoh acara tivi di atas sebenarnya menggambarkan bahwa teknologi untuk voting telah ada dan telah banyak digunakan di beberapa tempat. Jika mau voting tertutup, maka digunakan contoh kasus pertama. Sebaliknya jika mau voting terbuka, digunakan contoh kasus kedua. Hal ini sangat menghemat waktu, tenaga dan juga uang. Sehingga aktifitas perhitungan, penulisan di papan tulis, teriakan-teriakan yang tak perlu bisa dieliminasi. Biarkan komputer yang melakukan hal itu semua, dan peserta hanya perlu melihat hasilnya di layar.
Jadi seharusnya di setiap meja anggota DPR disediakan semacam voting button yang dapat digunakan ketika voting harus dilakukan. Penggunaannya saya rasa sangat mudah, karena juri vote lock pun dapat menggunakannya, apalagi anggota dewan kita yang terhormat. Lihat saja di kedua contoh kasus di atas, jika dilakukan dengan sistem komputerisasi, maka hasil voting dapat langsung diketahui secara real time. Sebagai informasi aja, ketika dulu pernah dilakukan voting untuk memilih presiden dan wakil presiden, dibutuhkan 1 hari penuh untuk melakukan itu semua. Artinya ada pemborosan penggunaan listrik dari cuma perlu 30 menit - 1 jam untuk pembukaan sidang, pandangan fraksi dan pembacaan keputusan serta penutupan sidang menjadi seharian, bahkan sampai pagi hari.
Entah kenapa teknologi semacam ini tidak diaplikasikan ke dalam ruang sidang paripurna DPR, apakah karena jika menggunakan ini anggota tidak bisa terlihat ke-vokal-annya yang sebenarnya hanya membuat muak, karena tiap kali interupsi, yang diucapkan itu-itu saja. Seolah-olah hal itu digunakan untuk mengulur-ulur waktu saja.
Apakah efesiensi dan efektifitas tidak menjadi target bagi anggota dewan? apakah yang penting anggaran yang ada boleh dihabiskan tanpa harus dihemat?
Entahlah, sampai kapan ada yang sadar bahwa voting tradisional semacam itu hanya memboroskan sumber daya negara dan menurut saya itu adalah bagian dari korupsi pengabdian mereka kepada rakyat.
Mudah-mudahan ada perbaikan di masa mendatang...amin
Sabtu, Maret 06, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar