Minggu, Maret 14, 2010

Family Trip to Singapore (5th - City Transportation)

Yang kita tahu dari awal adalah Singapore mempunyai sistem transportasi yang sangat memadai. Ada MRT dan juga bus yang menggunakan sistem tiket. Tapi itu belum pernah dibuktikan sendiri sampai benar-benar berada di sana. Jadi selama berada di Singapore, saya mengharamkan diri menggunakan taksi sebagai alat transportasi. Kenapa mengharamkan? karena disini sistemnya katanya sudah sangat baik dan ingin membuktikannya.

Keluar dari bandara kita langsung menggunakan MRT. Karena kebanyakan yang ikutan belum pernah atau sudah lama sekali tidak ke Singapore, maka kami harus membeli starter pack tiket EZ-Link di MRT changi dengan harga $15 untuk adult dan $5 untuk anak kecil. Harga untuk adult termasuk biaya kartu $5, sehingga net value yang ada di kartu adalah $10. Namun untuk anak kecil harga tersebut sudah termasuk net value. Kebetulan saya dan istri meminjam EZ-Link dari kakak ipar, sehingga kami pun tidak perlu mengeluarkan $5 biaya kartu, tinggal top up value kartu tersebut.

Kartu yang telah dibeli dibagikan ke masing-masing orang dan ditempelkan ke sensor kartu pintu masuk peron MRT changi untuk membuka locknya. Yang anak-anak dibantu oleh orang tuanya dalam menempelkan ke sensor. Namun selanjutnya anak-anak diajari cara menempelkan ke sensor sehingga mereka memiliki pengalaman tersendiri.

Kereta datang ke peron kira-kira 5 menit setelah kami on-board. Di sana ada tulisan berapa menit lagi keretanya akan datang, dan itu sesuai dengan apa yang ditulis. Inilah yang sangat membedakan antara Singapore dengan Jakarta. Disini pengguna transportasi umum mendapatkan kepastian waktu kedatangan, andaikata terlambat pun paling hanya beberapa menit dari yang seharusnya. Di Jakarta kita tidak tahu sama sekali kapan angkutan umum akan datang. Kadang dua angkutan sekaligus, kadang tidak ada sama sekali dalam dua jam menunggu.

Suasana di dalam kereta seperti yang tergambarkan dalam filem holywood atau filem jepang. Di situ ada tempat duduk yang tulisannya 'reserved', yaitu direserved untuk orang tua, ibu hamil dan orang cacat. Beberapa kali saya lihat sendiri orang disitu memberikan tempat duduknya kepada beberapa kategori yang saya sebutkan sebelumnya. Hal ini juga saya banyak jumpai di Jakarta, walaupun agak jarang karena penuh-sesaknya bus atau kereta sehingga lelaki yang masih kuat sekalipun harus tertidur ketika di perjalanan.



Yang menarik dari sistem transportasi di Singapore adalah korelasi antara satu angkutan dengan lainnya. Ketika merasakan perjalanan dengan MRT, kita dua kali harus pindah kereta atau dengan kata lain pindah jalur. Hal ini mirip seperti Busway di Jakarta yang bisa pindah jalur busway di halte transfer. Penumpang disini dipaksa bergerak cepat dalam pindah jalur karena kereta dari jalur lain akan datang tepat ketika dia sampai di peron untuk jalur berikutnya. Jika berjalan lambat, maka dia akan ketinggalan kereta dan harus menunggu hingga 15 menit. Hal yang sama juga saya rasakan terhadap jadwal bus. Jika ingin transfer bus, maka harus berjalan cepat ketika ingin mengejar bus yang akan kita naiki berikutnya. Terlambat berjalan, maka bus sudah keburu pergi. Makanya saya rasakan orang berjalan di Singapore memiliki kecepatan yang lebih baik daripada di Jakarta karena memang mereka tahu bahwa mereka harus cepat jika tidak ingin ketinggalan karena ada kepastian jadwal. Bandingkan dengan Jakarta, ketika kita pindah jalur busway maka 99% kita akan mengalami penumpukan penumpang. Lagi-lagi karena tidak ada kepastian jadwal.

Informasi angkutan umum seperti bus dan MRT sangat mudah didapatkan baik dari terminal yang bersangkutan hingga dari internet. Jadwal MRT dan bus dapat dilihat dengan seksama di website yang bersangkutan, bahkan untuk bus ada semacam journey planner, dimana website tersebut menjawab pertanyaan kita tentang bus apa yang harus kita naiki jika kita mau pergi dari titik A ke titik B. Itulah sebabnya akses internet sangat dibutuhkan ketika merencanakan perjalanan di Singapore, terutama untuk yang baru pertama kali kesana. Dari lihat informasi di internet tersebut, kadang kita bisa memodifikasi rute kita dalam rangka menghemat waktu tempuh atau menghemat biaya angkutan.

Ada satu pengalaman kami selama di Singapore memodifikasi rute perjalanan. Dari hotel menuju Suntec City Convention Center, jika minta petunjuk dari website maka akan disarankan untuk jalan kaki terlebih dahulu sekitar 300 meter, kemudian naik bus nomor 133 langsung ke Suntec. Biayanya $0,91 untuk adult. Dengan dimodifikasi, kita bisa langsung naik bus nomor 145 dari depan hotel, terus turun di tiga halte berikutnya, lanjut naik nomor 133 ke Suntec. Jalan kakinya dikurangi hingga hampir tidak ada, dan biayanya pun berkurang $0.03 karena adanya transfer rebate.



Setiap ingin melakukan rencana perjalanan, maka kami selalu bertanya kepada website tersebut tentang bus dan halte, sehingga setiap perjalanan serasa terencana dan biayanya dapat diukur. Namun ada satu kejadian dimana kami benar-benar berhenti di luar rencana, sehingga terpaksa saya memutar otak untuk mengembalikan kita kembali ke hotel. Untung saja salah satu dari bus tersebut melewati jalan yang tadi sempat dilewati, sehingga langsung saja kita milih bus tersebut walaupun tidak tahu sedang berada dimana. Saya rasa jika bertanya kepada orang Singapore sekalipun tidak akan banyak membantu masalah bus ini, karena sepertinya mereka juga tidak terlalu hapal dengan bus yang bukan menjadi kebiasaannya.



MRT hanya digunakan pas pertama kali datang karena jalan menuju peron dan transfer ke jalur yang lain butuh jalan kaki yang cukup jauh, padahal di rombongan ada ibu yang di atas 50-an dan anak balita. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ada korelasi antar jalur dengan kecepatan jalan. Jika kecepatan jalan kurang, maka setiap kali ganti jalur kita akan kehilangan sampai 15 menit hanya untuk menunggu kereta berikutnya. Lagipula rencana perjalan kita tidak mengharuskan untuk mengambil MRT sebagai moda transportasi.

Dengan sistem transportasi yang sudah tertata baik seperti itu, jarang sekali kami menemukan kemacetan di sana, bahkan ketika di Suntec City Convention Center sedang ada pameran IT Show. Sebagai gantinya, pameran tersebut disesaki banyak orang, seperti ingin menonton konser artis luar negri karena untuk jalan saja susah sekali.

Kapan ya Jakarta bisa seperti itu? Menurut cerita guide city tour yang kami coba, masalah di Jakarta juga dialami oleh Singapore di tahun 70-an, namun mereka berubah dan menjadi tertata demikian rapi.

Ada satu lagi, jika di Jakarta sungai merupakan momok, di Singapore sungai menjadi tempat wisata yang sangat menakjubkan. Hidup lebih dari 30 tahun di Jakarta, belum pernah sekalipun naik perahu sungai, karena memang tidak ada layanan naik perahu kecuali pilot project yang gagal beberapa tahun lalu.

Memang butuh kemauan dan aturan yang tegas untuk berubah, kalo tidak, ya gak akan bisa sampai kapan pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar