Selasa, Februari 22, 2011

Family Trip to Kuala Lumpur (5th - City Transportation)

Informasi yang didapatkan dari internet, buku dan teman yang pernah ke Kuala Lumpur menyebutkan bahwa di Kuala Lumpur ada sistem MRT yang belum terintegrasi karena masing-masing jalur dimiliki oleh perusahaan yang berbeda, lalu ada juga bus dalam kota yang bentuknya mirip seperti busway (agak nyaman) walaupun ada juga yang seperti bus PPD, dan taksi yang kurang baik layanannya karena kemungkinan besar supir taksi di Kuala Lumpur tidak mau menggunakan sistem argo dan lebih memilih sistem borongan seperti yang terjadi di Jakarta 10-20 tahun yang lalu.

Agak kontras memang informasi yang kita dapatkan tentang taksi dengan kondisi transportasi publik yang sudah beberapa langkah dari kota tercinta Jakarta ini. Jadi saya lebih berhati-hati dalam merencanakan trip ini, karena mau tak mau kita pasti akan menggunakan jasa taksi bagaimanapun juga.



Baiklah, mari kita mulai dari MRT. Di Kuala Lumpur ada lima jalur MRT (mereka menyebutkan 4 jalur LRT dan 1 jalur Monorail) yang tidak terintegrasi satu sama lain. Memang ada beberapa stasiun tempat berpindah, namun untuk berpindah kita harus keluar stasiunnya terlebih dahulu, berjalan beberapa ratus meter, baru masuk ke stasiun lainnya.

Sistem tiket yang digunakan untuk MRT sebenarnya ada juga sistem touch n go, namun harga tiket touch n go yang tergolong cukup mahal atau sekitar RM 20 per orang menyebabkan kami tidak membeli tiket touch n go. Lebih baik kami membeli tiket secara manual setiap kali mendatangi stasiun MRT.

Setelah membayar di loket untuk membeli tiket, masing-masing orang diberikan satu kartu elektronik, mirip kartu telepon jaman dahulu untuk digunakan sebagai pembuka gerbang (mirip seperti tiket busway koridor 1), namun kita harus menyimpan tiket tersebut hingga stasiun tujuan yang digunakan untuk membuka gerbang keluar. Ketika tiket dimasukkan ke gerbang masuk, maka tiket akan keluar lagi untuk kita ambil dan kita memasuki gerbang stasiun. Ketika di gerbang keluar, maka tiket akan termakan oleh mesin, hanya pintu keluarnya terbuka. Sistem ini mirip seperti MRT di Singapore. Tentunya tidak terlalu aneh jika pernah jalan-jalan menggunakan MRT di Singapore.

Ketika sampai peron, kita mendapatkan informasi berapa lama lagi kereta sampai. Ada layar monitor, sekitar 32-an inchi yang terdapat di masing-masing peron, yang menyebutkan berapa menit lagi kereta akan datang ke stasiun tersebut. Jika kita naik MRT ketika jam sibuk, katakanlah jam 8 pagi atau jam 5 sore, maka MRT tersebut sangat penuh. Namun karena ada kejelasan kedatangan, tidak ada satupun kereta yang saya lihat jumlah penumpangnya melebihi batas seperti kepada kereta KRL Jabodetabek ketika jam sibuk. Jadi layanan MRT di Kuala Lumpur menurut saya sangat baik, walaupun memang belum terintegrasi secara penuh.

Biarpun MRT tidak terintegrasi, namun perpindahan antar jalur di stasiun transit sudah dilengkapi jalur pejalan kaki yang kebanyakan sudah diberikan atap sehingga pengguna MRT yang berpindah jalur tidak kepanasan dan kehujanan. Bahkan tidak perlu bersinggungan dengan pengguna kendaraan bermotor karena banyak disediakan jembatan penyebrangan yang dilengkapi dengan tangga eskalator (walaupun tidak semua eskalator berfungsi saat itu).

Kesulitan menggunakan MRT adalah pada orang tua dan anak-anak. Ibu saya cukup kerepotan jika kita pindah-pindah jalur MRT karena harus berjalan ratusan meter per pindah stasiun. Demikian pula anak-anak yang kecapekan jika harus berjalan segitu jauh. Oleh karena itu MRT tidak terlalu direkomendasikan jika mengajak kedua kategori tersebut.

Pilihan berikutnya adalah taksi. Taksi di Kuala Lumpur jauh lebih buruk kualitasnya daripada taksi di Jakarta. Kalau di Jakarta kebanyakan taksi adalah mobil sedan jenis Toyota Vios (atau di Taksi namanya Toyota Limo), di sana taksinya adalah mobil proton saga yang kondisinya jauh di bawah Limo. Ada juga taksi premium di Kuala Lumpur dengan warna taksi adalah biru muda. Taksi premium ini berbeda dengan di Indonesia yang berupa sedan mewah, taksi disini berupa MPV standard sekelas Toyota Innova, Nissan Serena dan Kia Carnival. taksi premium mampu mengangkut hingga 8 penumpang sesuai kapasitas mobil tersebut.

Tarif argo untuk taksi biasa berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari website adalah RM 3 untuk buka pintu dan 1 km pertama, RM 1 untuk 1 km selanjutnya, kadang ada surcharge atau tambahan untuk penumpang ketiga, keempat bahkan bagasi RM 1 per penumpang/ bagasi. Memang aneh pake surcharge segala, tapi itu aturan yang berlaku di sana. Taksi umum ini biasanya suka tidak mau pakai argo, sehingga mereka sering menawarkan harga borongan. Harga borongan biasanya berkisar antara RM 10 - 20. Jadi jika ingin menawar, silakan kira-kira berapa jauh perjalanan anda, ditambah dengan kemacetan yang mungkin terjadi, jadi anda tidak tertipu membayar mahal padahal jaraknya kurang dari 1 km.

Untuk taksi premium tarif buka pintu dan 1 km pertama adalah RM 6. Untuk tiap km berikutnya adalah RM 2. Namun adapula surcharge jumlah penumpang. Di atas 3 orang penumpang, ada surcharge sebesar RM 1 per penumpang. Bagasi rasanya tidak ada surcharge karena kami tidak pernah pakai taksi premium argo yang berbagasi.

Dengan kondisi kami yang bepergian sebanyak 9 orang, maka kami lebih baik memilih satu taksi premium daripada dua taksi biasa. Taksi premium yang pernah kami tumpangi adalah dari Suriah KLCC ke Tune Hotel dengan tarif total RM 19, termasuk surcharge RM 6 karena jumlah kami yang banyak. Selain itu pernah juga dari Central Market ke Tune Hotel dengan tarif total RM 16 termasuk surcharge RM 4 karena ibu saya tidak ikutan saat itu. Ada juga kami menggunakan taksi premium ketika balik dari hotel ke KL Sentral dengan biaya RM 20 per taksi, termasuk bagasi. RM 20 ini adalah biaya menggunakan taksi yang disediakan oleh Tune Hotel, jadi tidak pakai sistem argo.

Taksi umum pun pernah kami gunakan ketika pulang dari Bukit Bintang ke Tune Hotel. Saat itu biaya per taksi (dengan menggunakan 2 taksi karena belanjaan kami yang banyak) adalah RM 12, termasuk mengalami kemacetan selama perjalanan (kami jalan di jam sibuk, yaitu jam 6 sore). Namun kesan pertama menggunakan taksi umum sungguh kurang menyenangkan, yaitu ketika kita sampai pertama kali ke KL Sentral dengan Skybus. Taksi di KL Sentral tersebut menggunakan kupon yang dibayarkan ke loket di dekat tempat ngetem taksi. Di loket itu jelas-jelas terpampang pengumuman untuk tidak memberlakukan surcharge terhadap bagasi. Namun ketika kami ingin naik dan menaro koper kami di bagasi mobil, supir tersebut meminta tambahan RM 2 - RM 5 untuk bagasi. Saya tanyakan lagi ke loket tempat membeli tiket taksi, dan kata petugasnya memang diperbolehkan surcharge bagasi tapi hanya RM 2. Rupanya aturan hanyalah aturan, mirip seperti di Jakarta :(.

Transportasi berikutnya adalah bus. Bus yang beredar di Kuala Lumpur kebanyakan mirip dengan busway yang ada di Jakarta. Ber-AC, berhenti di halte ketika menaikkan dan menurunkan penumpang, dan ada jalur bus khusus, walaupun tidak eksklusif. Sistem pembayaran bus jenis ini mirip dengan di Singapore yang membayar langsung ke pak supir dan juga bisa touch n go (khusus bus Rapid). Namun saya juga melihat beberapa bus mirip patas atau PPD yang ada di Jakarta. Sistem pembayarannya pun menggunakan kenek, mirip sekali dengan yang ada di Jakarta.

Namun sayangnya tidak sekalipun kami menggunakan bus sebagai transportasi dalam kota, kecuali ketika menggunakan Skybus ataupun bus Go Genting. Masalahnya satu, tidak cukup informasi yang bisa didapat jika menggunakan bus. Tanya ke beberapa orang di Malaysia, tidak ada yang tahu rute bus karena mereka lebih senang menggunakan MRT, yang disebutnya lebih cepat dan juga lebih murah.

Demikianlah pengalaman kami menggunakan transportasi umum selama di Kuala Lumpur. Jalur MRT yang pernah kami gunakan cuma dua, yaitu monorail (karena dekat dengan hotel) dan putra jaya line karena ingin menuju KLCC dari Genting. Transportasi di Kuala Lumpur dengan sifat orangnya yang tidak terlalu jauh daripada Jakarta saya akui jauh lebih baik daripada di Jakarta. Kapan ya Jakarta mengikuti jejak Kuala Lumpur dalam hal transportasi publik?

1 komentar:

  1. Saya malas ke Malaysia karena sering dianggap TKW, dan mereka sok, kurang hormat dalam melayani.Devisa kita tak usah digunakan ke Malaysia. Kalau TKW dianggap boleh dilecehin Kan kurang ajar itu. Saya beberapa kali liat di fery, atau tempat-tempat lain, dan saya juga merasakannya. . Padahal Malaysia tanpa orang Indonesia bak kuburan, tidak bisa apa-apa.

    BalasHapus