Selasa, Januari 20, 2009

Pertamina : Gagal Improved atau Hasil Skenario?



Beberapa bulan belakangan ini, Pertamina selalu mengkampanyekan dirinya menuju World Class Company (WCC) lewat media massa dan elektronik. Bahkan di Kompas edisi 20 Januari 2009, halaman 9, ada kampanye pertamina yang berkomitmen untuk menjaga distribusi BBM.

Menurut Nugroho Suryo, PhD, staff pengajar Prasetiya Mulya Business School untuk menjadi WCC dibutuhkan improvement yang Cepat, Tepat dan Sukses sekaligus. Dan yang namanya improvement harus langsung dirasakan oleh Customer.

Kalo begitu, mari kita lihat Pertamina. Mereka klaim mereka telah berupaya untuk menjadi WCC. Tentunya improvement itu akan kelihatan dari performance mereka yang langsung dirasakan customer.

Dari sisi distribusi BBM, ini yang perlu jadi perhatian. Beberapa bulan belakangan ini, seiring dengan kampanye yang dilakukan Pertamina bahwa mereka sedang berubah menuju WCC, kinerja distribusi BBM dan Elpiji Pertamina tidak dirasakan makin baik oleh para customer. Kelangkaan BBM dan Elpiji terjadi paling tidak satu kali setiap bulan, bahkan Elpiji beberapa saat lalu sempat terjadi kelangkaan hingga seminggu lebih berturut-turut. Dan kelangkaan BBM pun terjadi ketika pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi.

Ketika terjadi kelangkaan Elpiji, penyebab utamanya adalah Shutdownnya Kilang Balongan, walaupun shutdown tersebut sudah direncanakan sebelumnya. Pertamina berulang kali di media massa menyatakan, bahwa mereka mempunyai safety stock BBM dan Elpiji hingga 20 hari kebutuhan, sehingga bila satu kilang shutdown, apalagi shutdown yang direncanakan, tentunya jika memang terjadi kelangkaan, maka kelangkaan akan terjadi 20 hari setelah kilang tersebut shutdown, bukan di saat hari pertama atau kedua kilang tersebut shutdown.

Penyebab lainnya kelangkaan adalah kondisi alam yang kurang bersahabat, sehingga tanker-tanker distribusi Pertamina tidak bisa merapat ke pelabuhan yang menyebabkan distribusi ke konsumen terhambat. Sekali lagi, dengan klaim mempunyai safety stock hingga 20 hari, maka kondisi alam yang kurang bersahabat, baru akan memiliki efek 20 hari kemudian, tidak langsung saat kejadian.

Baru-baru ini malah terjadi kebakaran depot di Plumpang, Jakarta. Kebakaran hanya menimpa tanki nomor 24. Kalau dianggap di situ ada 24 tanki, artinya masih ada 23 tanki lain yang masih mempunyai stock BBM. Katakanlah 2-3 tanki terkontaminasi akibat usaha pemadaman, maka ada 20 tanki lebih yang masih beroperasi dan memiliki stock. Kenyataannya, di beberapa tempat di Jabotabek tanggal 20 Januari 2009 kemarin, banyak SPBU yang tutup karena kehabisan stock BBM. Padahal di saat yang sama Pertamina tetap mengkampanyekan dirinya mampu menjaga distribusi BBM, seperti yang dapat dilihat di Kompas.

Dari fakta-fakta yang disebutkan di atas, terbukti bahwa klaim pertamina bahwa mereka menuju WCC masih jauh panggang dari api. Mereka mungkin menganggap mereka telah improved, tapi apakah memenuhi kriteria Cepat, Tepat dan Sukses sekaligus? Mudah-mudahan Pertamina tidak salah dalam mengambil langkah improvement karena yang dirasakan customer hingga saat ini, kinerja Pertamina dalam menjaga distribusi BBM dan Elpiji dirasa masih belum mengalami peningkatan yang signifikan atau belum layak dianggap sebagai WCC.

Sekarang kita coba melihat dari sisi lain....

Pertamina, walaupun sebagai sebuah perusahaan tidak sepenuhnya independen menjalankan usahanya. Banyak pihak berkepentingan terhadap Pertamina, baik pemerintah, maupun Partai Politik. Tahun 2007 lalu, Pertamina menjadi perusahaan BUMN penyumbang dividen terbesar, yaitu hampir mendekati Rp 20 Triliun. Dengan kontribusi yang sangat besar bagi negara, adalah hal yang wajar Pertamina paling sering disorot oleh banyak kepentingan.

Saat ini internal Pertamina sedang melakukan konsolidasi untuk mengubah dirinya menjadi WCC. Katakanlah itu berjalan dengan baik, sesuai dengan Tujuan dan Sasaran perusahaan. Tapi kenapa perubahan itu tidak dirasakan customer? Apakah ada kekuatan besar lain yang mempunyai skenario agar Pertamina tidak bisa menjadi WCC?

Andaikata memang ada skenario tersebut, trus tujuannya apa? Bisa saja, karena Pertamina tidak bisa menjadi WCC dalam hal menjaga distribusi BBM, apalagi BBM bersubsidi, mungkin pemerintah akan mendapatkan tekanan untuk membolehkan perusahaan lain menjadi distributor BBM bersubsidi yang konsumsi tiap harinya sangat besar, hingga mencapai jutaan liter, yang tentunya merupakan bisnis yang sangat menggiurkan bagi siapapun yang menjadi pelakunya.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa tekanan sebuah perusahaan menjadi WCC menjadi semakin berat, terutama dari pesaing. Karena setiap perusahaan akan berusaha membunuh saingannya sedemikian rupa, atau saingan tersebut dibuat tidak dapat berkembang sehingga dibiarkan mati dengan sendirinya.

Untuk menekan pesaing, sebuah perusahaan yang sudah menjadi WCC dapat menghalalkan berbagai macam cara. Contohnya Toyota di Indonesia, lewat Pemerintah Jepang, Toyota berhasil menekan pemerintah kita agar membuka keran kebijakan Global Procurement mereka, sehingga supply komponen tidak lagi dari perusahaan dalam negri, tapi disupply dari perusahaan lain yang mereka anggap paling baik menghasilkan komponen tersebut. Jangan juga dilupakan, usaha Exxon Mobil. Lewat Pemerintah Amerika, Exxon berhasil mendapatkan hak operasi di Blok Cepu. Kedua hal inilah yang dinamakan Political Capital, dan hal tersebut adalah dianggap legal dan etichal di dunia bisnis.

Sedangkan untuk kasus Pertamina, sepertinya jika memang ada skenario agar mereka tidak dapat menjadi WCC, maka hal itu akan menjadi sesuatu yang tidak legal dan tidak etis. Kenapa? Lihat saja, sistem distribusi yang sudah disusun oleh Pertamina, dirusak dari dalam. Mereka tahu waktu yang tepat untuk menutup distribusi, seperti ketika ada shutdown terencana di kilang atau kondisi cuaca yang buruk. Yang paling kelihatan tidak etis adalah kemungkinan terjadinya sabotase Depot Plumpang, karena hal itu merusak asset dan juga merenggut seorang korban dari pihak Pertamina.

Mudah-mudahan fakta-fakta mengenai distribusi BBM benar-benar dianalisa secara komprehensif oleh Pertamina maupun pemerintah, apakah memang kejadian tersebut merupakan bukti tidak Cepat, tidak Tepat dan tidak Suksesnya Pertamina dalam melakukan improvement, atau ada skenario yang tidak menghendaki Pertamina menjadi WCC. Akibatnya Pertamina mendapatkan rapor buruk dari berbagai kalangan maupun pemerintah dari sisi distribusi BBM, dan membuat pemerintah tidak mempunyai pilihan lain kecuali membuka keran distribusi BBM bagi perusahaan lain di Indonesia.

Mari sama-sama kita lihat fakta berikutnya!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar