Sabtu, April 16, 2011

Rumitnya Kebijakan Pembatasan Penggunaan Premium (Part 1)

Melihat artikel ini beberapa menit yang lalu, saya mengambil kesimpulan bahwa pemerintah kita begitu kesulitan merumuskan kebijakan pembatasan penggunaan premium di tanah air. Semua opsi yang diajukan tidak ada cerminan bahwa pemerintah benar-benar memikirkan opsi tersebut untuk kepentingan rakyatnya tapi hanya untuk menjawab pertanyaan di benak aparat pemerintah sesuai arahan pimpinan tertinggi : Bagaimana caranya supaya subsidi BBM tidak membengkak?


Menurut saya, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang didasari oleh keadaan saat ini, kemudian akan diubah ke keadaan yang dinginkan. Untuk itu diperlukan prasyarat sebelum kebijakan baru dikeluarkan dan akan lebih baik jika perubahan tersebut memiliki dampak sedikit mungkin terhadap pihak-pihak yang terkait. Jika ada perubahan yang radikal tentunya diikuti oleh reward dan punishment yang juga memadai, sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan berkesinambungan.

Nah sekarang mari kita lihat apakah opsi yang diajukan pemerintah dalam artikel di atas sudah mencerminkan kebijakan yang baik.

Opsi pertama adalah melakukan pengaturan pengguna sekaligus penjatahan volume BBM bersubsidi menggunakan alat deteksi radio frequency identification (RFID). (Full Copy Paste dari link di atas).

Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apa itu RFID? Setelah googling melihat beberapa website ditarik kesimpulan bahwa RFID itu semacam tanda pengenal barang fungsinya mirip seperti barcode namun bisa mendeteksi sinyal dalam jarak tertentu, tidak harus "ditembak" dengan mesin scanner seperti barcode.

Pertanyaan kedua apakah pemerintah sanggup dalam waktu dekat melengkapi angkutan layanan umum dan roda dua/tiga yang jumlahnya mungkin mencapai puluhan juta kendaraan dengan RFID dan sanggup membuat database yang saling interkoneksi di seluruh Indonesia sehingga kebijakan ini benar-benar tepat sasaran? Mungkin saja pemerintah sudah punya datanya, toh angkutan layanan umum selama ini dikenal dengan plat kuning dan kendaraan roda dua/tiga pun terpisah jenisnya dari mobil pribadi. Tapi jika seluruh populasi harus dilengkapi dengan RFID, berapa lama waktu yang dibutuhkan? Sebagai perbandingan untuk membuat satu nomor kependudukan untuk masing-masing penduduk saja Depdagri membutuhkan waktu dari 2009 hingga 2014 hanya untuk beberapa kota besar di Indonesia dengan dana triliunan rupiah. Lalu untuk kebijakan ini mau brapa lama lagi diwujudkan dan berapa biaya yang akan dikeluarkan? Perlu juga dipertimbangkan biaya maintenance database agar kebijakan ini dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Lalu, siapa saja yang terkena dampak dan apa perubahan yang diterimanya? Bagaimana dengan reward atau punisment jika mengikuti atau melanggar kebijakan ini?

Pihak pertama yang terkena dampak adalah pemilik kendaraan umum dan roda dua/tiga. Ketika kebijakan ini dilaunching mereka harus memastikan bahwa di kendaraannya sudah ada RFID. Hanya satu kali usaha. Selebihnya mereka bisa melenggang tenang karena dapat mengkonsumsi BBM dengan biaya subsidi selama tidak melebihi jatah yang diijinkan.

Pihak kedua yang terkena dampak adalah pemilik kendaraan pribadi khususnya golongan menengah. Ketika kebijakan ini dilaunching mereka harus mengganti kebiasaan mereka yang boleh membeli BBM bersubsidi menjadi tidak boleh membelinya lagi dan harus mengganti dengan BBM non subsidi yang lebih mahal, bahkan saat ini harganya hampir 2x lipat besarnya. Pihak ini benar-benar dirugikan oleh pemerintah karena tidak ada kebijakan lanjutan sebagai kompensansi untuk mereka. Kebijakan lanjutan yang dimaksud adalah penyediaan angkutan umum yang memadai atau insentif lain yang bersifat moneter atau uang.

Pihak ketiga yang terkena dampak adalah pemerintah beserta seluruh aparatnya. Ketika kebijakan ini dilaunching, mereka sudah harus memastikan seluruh atau paling tidak sebagian besar dari pemilik kendaraan umum dan roda dua/tiga sudah melengkapi kendaraannya dengan RFID. Di samping itu harus dilakukan pengawasan secara menyeluruh agar pemilik kendaraan pribadi ataupun pemilik kendaraan umum dan roda dua/tiga tidak melakukan pelanggaran dalam kebijakan ini. Dan diharapkan ada kebijakan lanjutan untuk memberikan insentif atau apresiasi kepada pihak yang memang membeli BBM non subsidi sesuai amanat kebijakan ini. Dan kalau bisa kebijakan lanjutan yang dimaksud juga diumumkan ketika launching kebijakan opsi ini dijalankan.

Jadi menurut bayangan saya jika pemerintah mengambil opsi ini, maka akan ada biaya yang harus dikeluarkan pemerintah di depan, yaitu melengkapi seluruh kendaraan yang berhak dilengkapi RFID dan juga menyediakan server dan station penerima di seluruh SPBU Pertamina. Bisa saja kebijakan ini akan berjalan bertahap sesuai kesiapan masing-masing daerah. Tantangan bagi pemerintah adalah sistem yang terintegrasi untuk seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya per daerah. Artinya pemerintah akan membuat repeater untuk tiap jarak tertentu dan ini mirip dengan perusahaan seluler membuat BTS dimana-mana agar layanannya dapat terintegrasi satu dengan lainnya.

Kebayang kan biaya yang akan dikeluarkan pemerintah untuk opsi kebijakan ini? Apakah sebanding dengan penghematan yang diperoleh? Mungkin perlu dikaji lebih dalam lagi! Atau saat ini harusnya sudah ada kajian, jadi tinggal ketok palu dari pimpinan tertinggi.

Apakah jika opsi ini yang dipilih pemerintah berarti mengeluarkan kebijakan yang baik? Menurut saya tidak, malah di kebijakan ini, jika dilakukan dengan konsisten akan membebani pemerintah lebih jauh lagi. Pengawasan dan sistem integrasi membutuhkan biaya yang sangat besar karena pemerintah betul-betul tidak memberikan pilihan kepada kedua pihak yang lainnya. Lagipula belum adanya kebijakan lanjutan untuk kompensasi golongan menengah, yang katanya jumlahnya semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan kepada rakyatnya. Satu lagi yang patut dicurigai adalah proyek pengadaan RFID yang tentunya rawan korupsi seperti yang terjadi kepada hampir seluruh proyek-proyek pemerintah, dan kemungkinan dapat menyeret pejabat tinggi saat ini di kemudian hari ke penjara jika ditemukan indikasi korupsi tersebut.

Di bagian kedua (Part 2) tulisan ini akan dibahas mengenai opsi kedua yaitu :

Opsi kedua adalah pengaturan pengguna diimbangi dengan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Maksudnya, subsidi BBM hanya diberikan bagi pengguna kendaraan plat kuning, roda dua/tiga, dan kendaraan layanan umum dengan harga premium Rp 4.500 per liter. Sementara untuk taksi dan kendaraan pribadi bisa mengonsumsi premium dengan harga yang lebih tinggi, yakni Rp 6.500 per liter. (Full Copy Paste juga dari link di atas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar